Senin, 03 September 2012

Ilmu Hukum dalam Prespektif Ilmu Pengetahuan

ILMU HUKUM DALAM PRESPEKTIF ILMU PENGETAHUAN

A.    PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan memang berkembang begitu cepat. Hal ini dimungkinkan, karena ia mengibaskan cara orang mengusahakan ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang sangat sakral dalam pandangan teologia, ilmu hukum adalah merupakan salah satu bagian kajian yang tak pernah putus seiring dengan kemajuan teknologi dan manusianya dalam kehidupan masyarakat sehingga pandangan-pandangan tentang ilmu hukum itu sering berbenturan dengan keadaan yang ada dimana kajiannya lebih bersifat integral dan bukan pada bagian ilmu yang tersendiri.
Hukum dalam lingkup ilmu pengetahuan telah menjadi perdebatan di kalangan para sarjana hukum, hal tersebut telah membawa para sarjana hukum membagi ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu sosial. Sebagai langkah awal dari usaha menjawab pertanyaan tentang apa itu hukum?, Maka kita harus benahi dulu pengertian ilmu hukum. Dalam bahasa Inggris ilmu hukum dikenal dengan kata “legal science” hal ini sangat keliru jika diartikan secara etimologis, legal dalam bahasa Inggris berakar dari kata lex (latin) dapat diartikan sebagai undang-undang. Law dalam bahasa inggris terdapat dua pengertian yang berbeda, yang pertama merupakan sekumpulan preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam mencapai keadilan dan yang kedua, merupakan aturan perilaku yang ditujukan untuk menciptakan ketertiban masyarakat[1].
Pengertian pertama dalam bahasa Latin disebut ius, dalam bahasa Perancis droit, dalam bahasa Belanda recht, dalam bahasa Jerman juga disebut Recht, sedangan dalam bahasa Indonesia disebut Hukum. Sedangkan dalam arti yang kedua dalam bahasa Latin di sebut Lex, bahasa Perancis loi, bahasa Belanda wet, bahasa Jerman Gesetz, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut Undang-Undang[2]. Kata law di dalam bahasa Inggris ternyata berasal dari kata lagu, yaitu aturan-aturan yang dibuat oleh para raja-raja Anglo-Saxon yang telah dikodifikasi[3]. Lagu ternyata berada dalam garis lex dan bukan ius. Apabila hal ini diikuti, istilah legal science akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Hal ini akan terjadi ketidaksesuaian makna yang dikandung dalam ilmu itu sendiri.
Demi menghindari hal semacam itu dalam bahasa Inggris ilmu hukum disebut secara tepat disebut sebagai Jurisprudence. Sedangkan kata Jurisprudence berasal dari dua kata Latin, yaitu iusris yang berarti hukum dan prudentia yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Dengan demikian, Jurisprudence berarti pengetahuan hukum.
Dapat dilihat dari segi etimologis tidak berlebihan oleh Robert L Hayman memberi pengertian ilmu hukum dalam hal ini Jurisprudence secara luas sebagai segala sesuatu yang bersifat teoritis tentang hukum[4]. Disini dapat dilihat bahwa ilmu hukum itu suatu bidang ilmu yang berdiri sendiri yang kemudian dapat berintegral dengan ilmu-ilmu lain sebagai suatu terapan dalam ilmu pengetahuan yang lain. Sebagai ilmu yang berdiri sendiri maka obyek penelitian dari ilmu hukum adalah hukum itu sendiri, mengingat kajian hukum bukan sebagai suatu kajian yang empiris, maka oleh Gijssels dan van Hoecke mengatakan ilmu hukum (jurisprudence) adalah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara sistematis dan teroganisasikan tentang gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban.[5]
Jurisprudence merupakan suatu disiplin ilmu yang bersifat sui generis[6]. Maka kajian tersebut tidak termasuk dalam bidang kajian yang bersifat empirik maupun evaluatif. Jurisprudence bukanlah semata-mata studi tentang hukum, melainkan lebih dari itu yaitu studi tentang sesuatu mengenai hukum secara luas. Hari Chand secara tepat membandingkan mahasiswa hukum dan mahasiswa kedokteran yang mempelajari bidang ilmunya masing-masing[7]. ia menyatakan bahwa mahasiswa kedokteran yang akan mempelajari anatomi manusia harus mempelajari kepala, telingga, mata dan semua bagian tubuh dan struktur, hubungan dan fungsinya masing-masing. sama halnya dengan seorang mahasiswa hukum yang akan mempelajari substansi hukum, harus belajar konsep hukum, kaidah-kaidah hukum, struktur dan fungsi dari hukum itu sendiri. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa disamping ia mempelajari tubuh manusia secara keseluruhan, seorang mahasiswa kedokteran juga perlu mempelajari faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi tubuh, misalnya panas, dingin, air, kuman-kuman, virus, serangga dan lain-lain. Sama halnya juga dengan mahasiswa hukum, yaitu mempelajari faktor-faktor dari luar yang mempengaruhi hukum itu diantaranya, faktor sosial, politik, budaya, ekonomi dan nilai-nilai yang terkandung dalam bidang ilmu lain.
Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek; yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain yang mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menmpatkan hukum sebagai gejala sosial. Sedangkan studi-studi yang bersifat evaluatif menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas.
Ilmu hukum modern mengawali langkahnya ditengah-tengah dominasi para pakar dibidang hukum yang mengkajinya sebagai suatu bentuk dari perkembangan masyarakat sehingga dasar-dasar dari ilmu pengetahuan hukum terabaikan hal inilah yang menjadi obyek kajian penulis, karena sekarang banyak sarjana hukum menganggap kajian hukum berada pada tatanan kajian peraturan perundang-undangan (legislative law) bukan pada tatanan jurisprudensi, hal tersebut dikarenakan masuk kajian empirik kedalam ilmu hukum sebagai dasar kajian.

B.     PERMASALAHAN 
Berdasarkan pergerakan-pergerakan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan maka teknologi terus mengalami perubahan secara cepat, oleh karena itu hukum harus bisa beradaptasi dengan perkembangan tersebut, maka dengan sendirinya hukum sebagai suatu bidang ilmu dapat memberikan panduan bagi seorang sarjana hukum yang kini terbawa dan masuk dalam ranah ilmu hukum yang terintegral dengan ilmu-ilmu lainnya. Hal ini banyak membawa para sarjana hukum berfikir lebih praksis dan bukan lagi berfikir sebagai ilmuwan hukum.
Dengan merujuk pernyataan diatas maka penulis mencoba mengkaji permasalahan ilmu hukum yang menjadi pusat perdebatan dikalangan para sarjana hukum itu sendiri dengan permasalahan “Bagaimanakah Perspektif Ilmu Hukum Sebagai Salah Satu Ilmu Pengetahuan Modern”.

C.    TEORITIS
Sebelum kita membahas tentang apa dan bagaimana hukum sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan tentunya kita harus melihat dulu bagaimana padangan para ahli tentang hukum itu. Ketika mempertanyakan  tentang apa (hakikat) hukum itu, sebenarnya juga sudah masuk pada ranah filsafat hukum. Pertanyaan tersebut sebenarnya juga dapat dijawab oleh ilmu hukum, akan tetapi jawaban tersebut ternyata tidak memuaskan. Hal ini antara lain dapat berpijak dari pendapat Van Apeldoorn yang antara lain menyatakan bahwa ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak, karena ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum belaka[8]. Ia tidak melihat hukum, ia hanya melihat  apa yang dapat dilihat dengan panca indera, bukan melihat dunia hukum yang tidak dapat dilihat, yang tersembunyi di dalamnya, dengan demikian kaidah-kidah hukum sebagai pertimbangan nilai terletak di luar pandangan Ilmu Hukum Norma (kaidah) hukum tidak termasuk pada ranah kenyataan (Sein), tetapi berada pada dunia nilai (Sollen dan mogen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.
Menurut Utrecht: “Filsafat Hukum memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan: adanya dan tujuan hukum). Apakah sebabnya maka kita mentaati hukum? (persoalan: berlakunya hukum). Apakah keadilan yang menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu? (persoalan: keadilan hukum). Inilah pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab oleh ilmu hukum. Akan tetapi bagi orang banyak tidak memuaskan. Ilmu hukum sebagai suatu ilmu empiris hanya melihat hukum sebagai suatu gejala saja, yaitu menerima hukum sebagai suatu “gegebenheit” belaka. Filsafat hukum hendak melihat hukum sebagai kaidah dalam arti kata “ethisch wardeoordeel”[9].
Ruang lingkup Filsafat Hukum antara lain dapat ditilik dari perumusan pengertian tentang Filsafat Hukum. Mencermati adanya berbagai perumusan yang variatif maka tidaklah dapat dikatakan bahwa ruang lingkup Filsafat Hukum bersifat baku dan stagnant, namun sebaliknya luwes dan berkembang. Namun demikian titik pangkalnya tetap sama yakni tentang hakikat hukum yang paling mendalam atau hakiki.
Perkembangan terletak pada hakikat hukum yang dapat dilihat dari berbagai perspektif antara lain tentang tujuan hukum, keadilan, dasar mengikatnya hukum, atau mengapa hukum ditaati dan sebagainya. Perkembangan ruang lingkup Filsafat Hukum dapatlah ditengarai dengan pokok pikiran bahwa ruang lingkup Filsafat Hukum sudah bergeser pada batasan ruang lingkup yang dibuat atau disepakati sebagai masalah Filsafat Hukum oleh para filsuf masa lampau. Misalnya masalah dasar yang menjadi perhatian filsuf masa lampau terhadap Filsafat Hukum terbatas pada tujuan hukum (terutama masalah keadilan), hubungan hukum alam dan hukum positif, hubungan negara dan hukum, dan sebagainya.
Pada masa kini objek kajian atau ruang lingkup kajian Filsafat Hukum tidak hanya masalah tujuan hukum saja, tetapi setiap permasalahan yang mendasar sifatnya yang berkaitan dengan masalah hukum. Dengan kata lain bahwa Filsafat Hukum sekarang tidak lagi Filsafat Hukumnya para ahli filsafat seperti di masa-masa lampau, melainkan merupakan hasil pemikiran pula para ahli hukum (teoritisi maupun praktisi) yang dalam tugas sehari-harinya banyak menghadapi permasalahan yang menyangkut keadilan sosial di dalam masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut Friedmann menyatakan sebagai berikut.“Before the nineteenth century, legal theory  was essentially a by product of philosophy, religion, ethics, or politic. The great legal thinkers were primarily philoshopers, churhmen, politicians. The decisive shift from the philpshoper’s or politician’s to the lawyer’s legal philosophy is of fairly recent date. It follows period of great developments in juristic research, technique and professional training. The new era of legal philosophy arises mainly from the confrontation of the professional lawyer, in his legal work, with problems of social justice”[10].
Socrates yang melakukan dialog dengan Thrasymachus (Sofinsft) berbendapat bahwa ketika mengukur apa yang baik dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan tidak berhak, jangan diserahkan semata-mata kepada orang perorangan atau kepada mereka yang memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim, tetapi hendaknya dicari ukuran-ukuran yang objektif untuk menilainya. Soal keadilan bukanlah hanya berguna bagi mereka yang kuat, melainkan keadilan itu hendaknya berlaku bagi seluruh masyarakat[11].
Plato juga sudah membahas hampir semua masalah yang tercakup dalam Filsafat Hukum. Baginya keadilan (justice), adalah tindakan yang benar, tidak dapat diidentifikasikan dengan hanya kepatuhan pada aturan hukum. Keadilan adalah suatu ciri sifat manusia yang mengkoordinasi dan membatasi pelbagai elemen dari manusia terhadap lingkungannya agar memungkinkan manusia dalam keutuhannya berfungsi dengan baik. Plato juga berpendapat bahwa hukum adalah pikiran yang masuk akal (reason thought, logismos) yang dirumuskan dalam keputusan negara. Ia menolak anggapan bahwa otoritas dari hukum semata-mata bertumpu pada kemauan dari kekuatan yang memerintah (governing power)[12].
Aristoteles tidak pernah mendefinisikan hukum secara formal. Ia membahas hukum dalam berbagai konteks. Dengan cara yang lain Aristoteles mengatakan bahwa “Hukum adalah suatu jenis ketertiban dan hukum yang baik adalah ketertiban yang baik, akal yang tidak dipengaruhi oleh nafsu, Aristoteles juga menolak pandangan kaum Sofis bahwa hukum hanyalah konfensi. Namun demikian  ia juga mengakui bahwa seringkali hukum hanyalah merupakan ekspresi dari kemauan sesuatu kelas khusus dan menekankan peranan kelas menengah sebagai faktor stabilisasi[13].
Dalam dunia  pemikiran terhadap hukum, pada zaman ini menimbulkan pula adanya pendapat bahwa rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai suatu penjelmaan dari rasio Tuhan. Rasio manusia terlepas dari ketertiban Ketuhanan. Dan rasio manusia yang berdiri sendiri ini merupakan sumber satu-satunya dari hukum. Unsur logika manusia merupakan unsur penting dalam pembentukan hukum.
Dalam hal ini dibedakan 4 (empat) jenis hukum yaitu, pertama, Lex aeterna (hukum abadi, eternal law), suatu ekspresi peraturan alam semesta secara rasional dari Tuhan; kedua, Lex divina (hukum ilahi, divine law) yang membimbing manusia menuju tujuan supranaturalnya, hukum Tuhan diwahyukan melalui kitab suci; ketiga, Lex naturalis (hukum alam, natural law), membimbing manusia manusia menuju tujuan alamiahnya, hasil partisipasi manusia dalam bentuk kosmik; keempat, Lex human (hukum manusia, human law), mengatur hubungan antara manusia dalam suatu masyarakat tertentu dalam kerangka tuntutan-tuntutan khusus dalam masyarakat tersebut (sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan)[14].
Oleh Thomas Kuhn mendefinisikan : “…Recognized scientific achievements that for a time provide model problems and solutions to a community of practitioners”[15]. Sedangkan menurut Liek Wilardjo merumuskan : “Sebagai model yang dipakai ilmuwan dalam kegiatan keilmuannya unuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dan dengan metode apa serta melalui prosedur yang bagaimana penggarapan itu harus dilakukan”[16]. Lain lagi menurut Angkasa :“Pandangan Fundamental Dari Suatu Komunitas Ilmuwan Tentang Model Yang Menunjukkan Pokok Persoalan Yang Mendasar, Teori Beserta Metode Pemecahannya“.[17]
Sehingga dalam perkembangannya ilmu hukum sebagai suatu pengetahuan banyak teori-teori yang memacu pemikiran-pemikiran tentang hukum, Hans Kelsen dalam Teori Hukum Murni[18] mengatakan bahwa sebuah teori hukum positif yang merupakan sebuah teori hukum umum, bukan sebuah presentasi atau implementasi dari peraturan legal khusus. Dengan membandingkan semua fenomena yang mengatasnamakan hukum, ia mencoba mengungkapkan hakikat hukum itu sendiri, menentukan strukturnya dan karateristik bentuk-bentuknya, independen dari konten perubahan yang dialaminya pada waktu yang berbeda dan diantara orang-orang atau bangsa-bangsa yang berbeda pula. Dengan cara ini ia mendapatkan prinsip-prinsip fundamental yang dengannya tiap peraturan legal dapat dipahami. Sebagai teori, tujuan satu-satunya adalah untuk mengetahui subyeknya. Maka untuk menjawab pertanyaan tentang apakah hukum itu, bukan seperti apa yang seharusnya. Pertanyaan yang disebut belakangan adalah bagian dari bidang politik, sedangkan teori hukum murni adalah pengetahuan ilmiah.
Hans Kelsen juga mengatakan “kemurnian” murni, untuk menghindari rekognisi hukum positif dari semua elemen yang asing, batasan subyek ini dan rekonigsi harus tetap dengan jelas dalam dua arah : ilmu hukum yang spesifik, prinsip yang biasanya disebut jurisprudensi, harus dibedakan dari filsafat keadilan, di satu sisi, dan dari sosiologi, atau kognisirealitas sosial, di sisi lain[19].
Ilmu hukum menunjukkan penafsiran normatif atas obyeknya hanya dengan memahami perilaku manusia yang tergabung dalam suatu masyarakat yang merupakan isi dari dan ditentukan oleh norma hukum. Ilmu hukum menjelaskan norma-norma hukum yang diciptakan oleh tindak perilaku manusia dan harus diterapkan dan dipatuhi oleh tindakan tersebut, dengan demikian ia menjelaskan hubungan normatif antara fakta-fakta yang ditetapkan oleh norma-norma itu[20].
Menurut Hegel, pemisahan “hukum yang ada” dan “hukum yang seharusnya ada” sama sekali tidak meremehkan pentingnya nilai-nilai dalam hukum, sebagaimana dijelaskan pula dalam karya Austin maupun Kelsen, pemisahan itu menempatkan keduanya pada bidang yang benar-benar berbeda[21].
Dalam hal ini ilmu hukum dalam mencari bentuk yang lebih modern maka menggunakan model positivisme, hal in dapat dilihat ketika Hans Kelsen dalam Reine Rechtslehre mengatakan Hukum  itu adalah susunan logis dari peraturan perundang-undangan yang berlaku pada satu tempat tertentu dan ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan tentang peraturan-peraturan itu, esensi dari teori Hans Kelsen adalah :
  1. The aim of a theory of law, as of any science, is to reduce chaos and multiciplity to unity.
  2. Legal theory is science, not volition. It is knowladge of what the law is, not what the law. The law is a normative not a natural science.
  3. Legal thery as a theory of norms is not concerned with the effectiveness of legal norms.
  4. A theory of law is formal, a theory of the way of ordingring, changing contents in a specific way.[22]
Pada abad ke-duapuluh, studi hukum banyak mengalami perubahan dari ranah dasarnya sebagai suatu ilmu, hal itu terjadi dengan kemunculan aliran socilogical jurisprudensi yang dipelopori oleh Roscoe pound ( 1911)[23].Pound mengajukan gagasan tentang suatu studi hukum yang juga memperhatikan efek sosial dari bekerjanya hukum. Studi tentang hukum tidak bisa dibatasi hanya tentang studi logis terhadap peraturan hukum penerapannya, melainkan juga akibat yang timbul terhadap masyarakat.
Aliran dan gerakan keluar dari ranah hukum postif selanjutnya mengalami kemajuan yang cukup mencolok. Perkembangan tersebut oleh Alan Hunt disebut sebagai “socialogical movement in law” buku Hunt dengan judul yang sama diawali dengan kalimat “the twentieth century has produced a movement towards the sociologically oriented study of law. The study of law can no longer be regarded as the exclusive preserve of legal professionals, whether practioners or academics. There has emerged a sociological movement in law which has had as its common and explicit goal the assault on legal exclucivism..... [24].
Menurut hemat saya bahwa studi ilmu hukum harus benar-benar didasarkan pada subyek dan obyek serta tujuan hukum itu sendiri sebelum keluar dan berintegrasi dengan ilmu-ilmu lain, sehingga pandangan hukum sebagai suatu ilmu pengetahuan masih berdiri sesuai dengan koridor hukum itu sendiri. Karena hukum bukan berarti bahwa harus menjadi beban dalam masyarakat akan tetapi sebagai suatu seni (art of law) untuk mengatur masyarakat dan hukum bukan sekedar suatu sanksi yang harus di taati oleh masyarakat sehingga menurut penulis hukum pada umumnya dapat dikatakan sebagai “perwujudan dari tingkah laku manusia secara individu dan bukan masyarakat pada umumnya”. Atau lebih khusus hukum dapat dikatakan adalah “pengulangan dari tingkah laku manusia yang tergabung/terintegral dengan manusia lain yang membentuk suatu masyarakat dengan norma-norma yang secara individu telah ada, dan terbentuk dalam satu aturan yang sakral dan ditaati dengan sanksi berupa hukuman dan moral baik itu secara memaksa maupun tidak”.[25]


D.    PEMBAHASAN
1.         Perspektif Ilmu HukumIlmu hukum mempunyai karateristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar perosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.
Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang substansial di dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang objeknya juga hukum. Suatu langkah awal dari substansi ilmu hukum ini adalah perbincangan mengenai makna hukum di dalam hidup bermasyarakat. Dalam hal ini ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum sebagai suatu gejara sosial yang hanya dipandang dari luar; melainkan masuk kedalam hal yang lebih esinsial yaitu sisi intriksik dari hukum. Dalam setiap perbincangan yang demikian tentu saja akan menjawab pertanyaan mengapa dibutuhkan hukum sedangkan sudah ada norma-norma sosial yang lain. Apakah yang diinginkan dengan kehadiran hukum. Dalam perbincangan yang demikian, ilmu hukum akan menyoal apa yang tujuan hukum. Dalam hal demikian apa yang menjadi senyatanya ada berhadapan dengan apa yang seharusnya. Pada perbincangan akan dicari jawaban yang nantinya akan menjembantani antara dua realitas tersebut.
Persoalan berikutnya adalam merupakan suatu conditio sine qua non dalam hukum adalah masalah keadilan. Mengenai masalah tersebut perlu diingat pandangan Gustav Radbruch yang secara tepat menyatakan bahwa cita hukum tidak lain daripada mencapai keadilan “Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus”[26]. Persoalan keadilan bukan merupakan persoalan matematis klasik, melainkan persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban masyarakat dan intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah tetapi esensial keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dalam hidup bermasyarakat. Pandangan Hans Kelsen yang memisahkan keadilan dari hukum tidak dapat diterima karena hal itu menentang kodrat hukum itu sendiri. Dengan demikian memunculkan suatu pertanyaan mengenai mengelola keadilan tersebut. Maka disinilah mucullah preskriptif ilmu hukum.
Untuk memahami validitas aturan hukum, banyak masalah yang timbul dalam kehidupan manusia, karena manusia adalah merupakan anggota masyarakat dan sekaligus mahluk yang memiliki kepribadian. Sebagai anggota masyarakat perilakunya harus diatur. Dan apabila masyarakat meletakkan aturan-aturan itu yang ditekankan adalah ketertiban, maka dengan demikian maka akan menghambat pengembangan pribadi anggota-anggotanya. Sebaliknya, setiap orang cenderung meneguhkan kepentingan sambil kalau perlu melanggar hak-hak orang lain.
Untuk mempelajari konsep-konsep hukum berarti mempelajari hal-hal yang semula ada dalam alam pikiran yang dihadirkan menjadi sesuatu yang nyata. Konsep hukum, bentukkan hukum ataupun konstruksi hukum merupakan hal-hal yang sangat dibutuhkan di dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya konsep hak milik, misalnya merupakan sesuatu yang sangat esensial dalam hidup bermasyarakat. Konsep demikian tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan mengalami proses berpikir yang panjang. Dengan diketemukannya konsep-konsep semacam itu, mau tidak mau akan diikuti oleh aturan-aturan yang menyertainya.
Mempelajari norma-norma hukum merupakan esensial di dalam ilmu hukum. Belajar ilmu hukum tanpa mempelajari norma-norma hukum sama halnya dengan belajar ilmu kedokteran tanpa mempelajari tubuh manusia. Oleh karena itu ilmu hukum merupakan ilmu normatif, hal ini tidak dapat disangkal dan memang demikian kenyataannya. Dengan demikian tidak ada alasan bagi seorang sarjana hukum akan tetap menganggap ilmu hukum adalah merupakan ilmu yang normatif.
Sifat ilmu hukum sebagai ilmu terapan merupakan konsekuensi dari sifat preskriptifnya. Suatu penerapan yang salah akan berpengaruh terhadap sesuatu yang bersifat substansial. Suatu tujuan yang benar tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan apa yang hendak dicapai akan berakibat tidak ada artinya. Mengingat hal tersebut dalam menetapkan standar prosedur atau cara harus berpengang kepada sesuatu yang substansial. Dalam hal inilah ilmu hukum akan menelaah kemungkinan-kemungkinan dalam menetapkan standar tersebut.
Berdasarkan sifat keilmuan ilmu hukum dapat dibagi menjadi tiga lapisan, dalam bukunya Jan Gijssels dan Mark van Hoecke membagi ketiga lapisan tersebut adalah rechtsdogmatiek (Dogma Hukum), rechtsteorie (Teori Hukum) dan rechtsfilosie (Filsafat Hukum)[27]. Dalam hal kemurnian ilmu hukum sebagai suatu ilmu, dari ketiga pembagian tersebut dapat dilihat bahwa dua diantaranya (dogma hukum dan teori hukum) adalah merupakan ilmu hukum yang murni dan belum terintegrasi dengan ilmu-ilmu lain sedangkan filsafat hukum telah terintegrasi dengan ilmu-ilmu lain karena didalamnya akan mempelajari banyak hal yang bersilangan dengan ilmu-ilmu lain. Oleh karena itu ilmu hukum mempunyai dua aspek, yaitu aspek praktis dan aspek teoritis.

2.        Hukum Sebagai Ilmu Pengetahuan Modern
Dalam hal sekarang untuk menunjukkan paradigma tertentu yang mendominasi ilmu pada waktu tertentu. Sebelum adanya paradigma ini didahului dengan aktivitas yang terpisah-pisah dan tidak terorganisir yang mengawali pembentukan suatu ilmu (pra-paradigmatik)
Bertolak dari gagasan Kuhn tentang paradigma dalam konteks perkembangan ilmu seperti tersebut di atas, maka berikut ini dipaparkan paradigma (ilmu) hukum, yang  tampaknya juga berperan dalam perkembangan hukum. Bermula dari gagasan tentang hukum alam yang mendapatkan tantangan dari pandangan hukum yang kemudian (paradigma hukum alam rasional), ilmu hukum kemudian telah berkembang dalam bentuk revolusi sains yang khas.
Namun terdapat perbedaan dengan paradigma yang terdapat pada ilmu alam (eksak), dimana kehadiran paradigma baru cenderung akan menumbangkan paradigma lama. Dalam paradigma ilmu sosial (termasuk ilmu hukum) kehadiran suatu paradigma baru di hadapan paradigma lama tidak selalu menjadi sebab tumbangnya paradigma lama. Paradigma yang ada hanya saling bersaing, dan berimplikasi  pada saling menguat, atau melemah.
Hukum alam memberikan dasar moral terhadap hukum, sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan dari hukum selama hukum diterapkan terhadap manusia. Potensi hukum alam ini mengakibatkan hukum alam senantiasa tampil memenuhi kebutuhan zaman manakala kehidupan hukum membutuhkan pertimbangan-pertimbangan moral dan etika. Implikasinya hukum alam menjelma dalam konstitusi dan hukum-hukum negara.
Paradigma  Hukum Historis yang berpokok pangkal pada Volksgeist tidak identik bahwa jiwa bangsa tiap warganegara dari bangsa itu menghasilkn hukum. Merupakan sumber hukum adalah jiwa bangsa yang sama-sama hidup dan bekerja di dalam tiap-tiap individu yang menghasilkan hukum positif. Hal itu menurut  Savigny tidak terjadi dengan menggunakan akal secara sadar, akan tetapi tumbuh dan berkembang di dalam kesadaran bangsa yang tidak dapat dilihat dengan panca indera.
Oleh Bentham, teori itu secara analogis diterapkannya pada bidang hukum. Baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan. Sebaliknya dinilai buruk, jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian dan hanya memperbesar penderitaan.
Dengan demikian, paradigma  utilitarianis merupakan paradigma yang meletakkan dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Prinsip utama pemikiran mereka adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum.Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan pengaturan penciptaan kesejahteraan negara.
Perbincangan tentang keadilan rasanya merupakan suatu kewajiban ketika berbicara tentang filsafat hukum, mengingat salah satu tujuan hukum adalah keadilan dan ini merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum.
Memahami pengertian keadilan memang tidak begitu sulit karena terdapat beberapa perumusan sederhana yang dapat menjawab tentang pengertian keadilan. Namun untuk  memahami tentang makna keadilan tidaklah semudah membaca teks pengertian  tentang keadilan yang diberikan oleh para pakar, karena ketika berbicara tentang makna berarti  sudah bergerak dalam tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam sampai pada hakikat yang paling dalam.
Penganut paradigma Hukum Alam meyakini bahwa alam semesta diciptakan dg prinsip keadilan, sehingga dikenal antara lain Stoisisme norma hkm alam primer yang bersifat umum menyatakan: Berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere), dan jangan merugikan seseorang (neminem laedere)”. Cicero juga menyatakan bahwa hukum dan keadilan tidak ditentuk an oleh pendapat manusia, tetapi oleh alam.
Paradigma Positivisme Hukum, keadilan dipandang sebagai tujuan hukum. Hanya saja disadari pula sepenuhnya tentang relativitas dari keadilan ini sering mengaburkan unsur lain yang juga penting, yakni unsur kepastian hukum. Adagium yang selalu didengungkan adalah Suum jus, summa injuria; summa lex, summa crux[28]. Secara harfiah ungkapan tersebut berarti bahwa hukum yang keras akan melukai, kecuali keadilan dapat menolongnya.
Dalam paradigma hukum Utiliranianisme, keadilan dilihat secara luas. Ukuran satu-satunya untuk mengukur sesauatu adil atau tidak adalah seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare). Adapun apa yang dianggap bermanfaat dan tidak bermanfaat, diukur dengan perspektif ekonomi.”.
Melalui pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka ilmu hukum dapat menjalankan perkembangannya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang lebih utuh dan tidak terintegrasi ke dalam ilmu-ilmu lain yang nantinya akan berakibat bagi perkembangan ilmu hukum itu sendiri, oleh sebab itu paradigma tersebut tentunya akan mengubah peta hukum dan pembelajaran hukum yang selama ini memandu kita dalam setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih baik dalam prinsip keilmuan.

E.     PENUTUP
Perkembangan ilmu hukum saat ini mengalami kemajuan yang sengat cepat seiring dengan perkembagan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga setiap sarjana hukum harus dapat menyesuaikan ilmunya untuk dapat mengimbangi perkembangan tersebut. Akan tetapi hal tersebut telah berubah dengan meninggalkan siaft-sifat asli dari ilmu yang dipelajarinya.
Ilmu hukum adalah merupakan ilmu yang mandiri dan seharusnya dapat bekerja sendiri sesuai dengan konsep-konsep hukum yang murni dan menghasilkan hukum yang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang lebih modern. Oleh sebab itu ilmu hukum harus kembali dalam konsep yang utama sebagai ilmu hukum yang murni.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami ilmu hukum sebagai suatu pengetahuan modern adalah dengan mengembalikan ilmu hukum kedalam eksistensinya sebagai kesatuan ilmu pengetahuan yang akan dipelajari dan dikaji sebagaimana mestinya.

[Penulis adalah Dosen Univesitas Pembangunan Indonesia Manado Sekarang Mahasiswa Pascasarjana Megister Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto]  
F.      DAFTAR REFENSI
Angkasa, Dalam Bahan Kuliah Filsafat Hukum, Pascasarjana MIH Unsoed.
Apeldoorn, Van ’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, 1985.
Chand, Hari, modern Jurisprudence, International Law Book Services Kuala Lumpur, 1996.
Gijssels, Jan and Mark van Hoecke, What is Rechtsteorie?., Kluwer, Rechtwetenschappen, Antwerrpen, 1982.
Hunt, Alan, socialogical movement in law, lihat Satjipto Raharjo dalam Jurnal Progresif “Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, volume 1 No. 2, hal. 5. 
Junaidy, Ronny K., Mahasiswa pascasarjana MIH Unsoed sebagai penulis.
Kelsen, Hans. Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, 2009 .
....................... Teori Hukum Murni “Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif”, Nusa Media, 2009 .
Marzuki, Peter Mahmud, SH., MS., LL.M., Prof., Penelitian Hukum,  Kencana, Jakarta, 2009
Pound, Rescoe, law finding through experience and reason, lectures, university of georgia press, athens. 1960.
....................., Scope and Purpose of Sociological Jurisprundece, dalam Harvard Law Review, jilid XXIV No. 8 ., lihat  Satjipto Raharjo dalam Jurnal Progresif “Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, volume 1 No. 2, 2005.
Rasjidi, Lili & Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum,  Mandar Maju, 2007.

Perlindungan Hukum Hak-Hak Nasabah Bank

PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK NASABAH BANK


keHebohan” Masyarakat akhir-akhir ini dengan tejadinya kasus-kasus pembobolan dana Nasabah oleh oknum perbankkan membuat “gempar” dunia perbankkan di Indonesia, tidak hanya Citibank yang akhir-akhir ini begitu ramai,akan tetapi berdasarkan pernyataan Bareskrim Mabes Polri sebagaimana di lansir Metrotvnews.com polri mencatat delapan kasus pidana perbankkan selama tahun 2011 sebanyak 11 orang dari 24 tersangka merupakan orang dalam (oknum perbankkan itu sendiri). dan puncak yang mengkhawatirkan adalah semakin berkurangnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankkan. Tentu saja hal semacam ini akan sangat “membahayakan” terhadap eksistensi  dunia perbankkan yang notabenenya adalah Lembaga Kepercayaan dimana pada prinsipnya keinginan masyarakat untuk meyimpan dananya pada Bank semata -mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat diperoleh kembali pada waktunya dan disertai dengan jaminan keamanan dari segala bentuk kejahatan.
Pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan bahwa baik di lndonesia maupun negara-negara lain ada beberapa Bank yang mengalami persoalan dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak nasabahnya sehingga berdampak pada merugikan masyarakat, karena sebagian atau seluruh dana masyarakat yang di “bobol” sehingga dana tersebut tidak dapat diperoleh kembali, kenyataan demikian dapat menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana cara memberikan perlindungan hak-hak  masyarakat penyimpan dana??
Bahwa berdasarkan Peraturan Perbankan Indonesia hukum memberikan tempat Nasabah untuk melindungi dirinya dengan cara (Hermansyah : 2003 Digitized by USU digital library):
1.      Perlindungan secara implisit ( Implicit deposit protection),yakni  perlindungan yang diperoleh melalui:
a.       Peraturan perundang-undangan dibidang perbankan (UU No.7 1992 dan UU No.10 1998 tentang Perubahan Atas UU No.7 1992 tentang PERBANKKAN); dalam Pasal 37 B dengan jelas disebutkan bahwa :”setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang di simpan pada bank bersangkutan (1), untuk menjamin simpanan masyarakat tersebut maka di bentuk lembaga penjamin simpanan (LPS) (2).
b.      Perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif yang dilakukan oleh bank lndonesia.
c.       Upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai suatu lembaga pada khususnya dan
 perlindungan terhadap sistem perbankkan pada umumnya.
d.      Memelihara tingkat kesehatan bank;
e.       Melakukan Usaha sesuai dengan prinsip kehati hatian;
f.        Cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah;
g.       Menyediakan informasi resiko pada nasabah,
2.      Perlindungan secara Eksplisit ( Explicit deposit protection ), yaitu perlindungan yang diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat (sebagaimana yang di amanatkan pasal 37B(2) UU 10 1998).
Berdasarkan pengalaman dari beberapa kasus pembobolan dana nasabah akhir-akhir ini yang jika tidak segera di tanggani dengan serius maka kemungkinan akan berdampak pada krisis perbankan maka dengan memperhatikan trend pengawasan bank di beberapa negara lain, serta dalam rangka mengupayakan meningkatnya efisiensi, keamanan dan kestabilan  dibidang pengawasan bank, sudah selayaknyalah paradigma pola pengawasan bank yang sudah beruubah di efektifkan lagi pelaksanaannya, dimana Pengawasan bank yang semula didasarkan pada pola pendekatan pengawasan institusional, oleh UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia diubah menjadi pola pendekatan pengawasan fungsional. Berkenaan dengan itu, maka Pasal 34 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia mengamanatkan perlunya pemisahan fungsi otoritas moneter dan sistem pembayaran di satu sisi dengan fungsi pengawasan dan pembinaan bank di sisi lainnya.
Dengan demikian, sesuai dengan amanat UU tersebut, sudah waktunya pola pengawasan  dan pembinaan bank sebaiknya dilakukan oleh sebuah lembaga independen yang benar-benar kredibel, sehingga ototritas moneter akan terpisah dari otoritas pengawas bank, dalam rangka mengupayakan optimalisasi perlindungan hak-hak nasabah.

REFERNSI : Yahya Ahmad Zein

Hubungan Hukum Para Pihak dalam Penerbitan Obligasi

PENERBITAN HUKUM PARA PIHAK DALAM PENERBITAN OBLIGASI

Di Indonesia pada zaman sekarang banyak perkembangan-perkembangan lalu lintas perekonomian yang mana banyak digunakan untuk menunjang stabilitas kehidupan dan banyak terdapat pasar modal. Tujuannya menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas ekonomi nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.
Masyarakat diharapkan turut berperan serta dalam pembangunan ekonomi serta pembangunan sektor ekonomi. Salah satunya sebagai sarana investasi yang dikenal dengan obligasi sebagai instrumen jangka panjang yang mana juga termasuk dalam surat berharga. Surat berharga yang dimaksud merupakan surat bukti tuntutan hutang, pembawa hasil dan mudah diperjualbelikan. sebagai surat berharga, haruslah didalam surat tercantum nilai yang sama dengan nilai dari perikatan dasarnya. Unsur terpenting dalam surat berharga dapat dipindah tangankan atau diperdagangkan dengan mudah. Surat berharga obligasi ini sendiri merupakan instrumen utang perusahaan yang hendak memperoleh modal.
kata obligasi sendiri berasal dari Bahasa Belanda, yaitu “Obligatie” atau “Verplicthing” atau “Obligataat”, yang berarti kewajiban yang tak dapat ditinggalkan, Obligasi sering juga disebut sebagai surat utang  jangka panjang yang diterbitkan oleh suatu lembaga dengan nilai nominal dan waktu jatuh tempo tertentu. Penerbit obligasi bisa perusahaan swasta, BUMN, atau pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah.
Pihak-pihak yang terlibat dalam obligasi :
  1. Emiten (Issuer) merupakan suatu perusahaan yang menjadi aktor utama yang bermaksud menerbitkan suatu obligasi, emiten sendiri adalah pihak yang melakukan penawaran umum. Pihak yang dimaksud adalah  orang perseorangan, perusahaan usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang berorganisasi;
  2. Penjamin Emisi Efek (Underwriter) merupakan pihak yang juga memegang peranan sangat penting dalam penerbitan obligasi, penjamin emisi efek adalah pihak yang membuat kontrak dengan emiten untuk melakukan penawaran umum bagi kepentingan emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa efek yang tidak terjual;
  3. Wali Amanat dalam penerbitan obligasi dikenal lembaga wali amanat (trustee). Lembaga ini merupakan lembaga lembaga khusus yang yang harus ada dalam setiap penerbitan efek yang bersifat hutang seperti obligasi. Wali amanat merupakan pihak yang mewakili para pemegang obligasi dalam hubungannya dengan penerbitan obligasi yang bersangkutan. Obligasi pada dasarnya merupakan surat hutang yang sifatnya sepihak dan para pemegangnya tersebar luas;
  4. Penanggung (Guarantor), Jasa penanggung (guarantor) diperlukan apabila suatu pihak (perusahaan, negara, pemerintah daerah) menerbitkan obligasi, dan tujuannya adalah untuk menjamin pelunasan seluruh pinjaman pokok beserta bunga, apabila ternyata dikemudian hari Emiten tidak mampu membayar atau wanprestasi;
  5. Investor (Masyarakat Pemodal) merupakan aktor utama yang berperan dalam kegiatan pasar modal. Investor sebagai pihak yang menginvestasikan dananya di pasar modal, dengan cara membeli  Efek yang bersifat utang (obligasi) maupun efek yang bersifat ekuitas. Investor yang terlibat dalam pasar modal Indonesia adalah investor domestik dan asing, perorangan dan institusi yang mempunyai karakteristik masing-masing.
Salah satu jenis obligasi yang diperdagangkan di pasar modal kita saat iniu adlah obligasi kupon (coupon bond) dengan tingkat bunga tetap (fixed) selama masa berlaku obligasi. Berinvestasi dalam obligasi mirip dengan berinvestasi di deposito pada bank. Bila anda membeli obligasi, anda akan memperoleh bunga/kupon yang tetap secara berkala biasanya setiap 3 bulan, 6 bulan, atau 1 tahun sekali sampai waktu jatuh tempo. Ketika obligasi tersebut jatuh tempo, penerbit harus membayar kepada investor sesuai dengan nilai dari obligasi tersebut beserta bunga/kupon terakhirnya.
Dengan karakteristik seperti ini, bagi mereka yang memasuki masa pensiun, tentunya investasi ini sangat baik karena adanya kebutuhan reguler selama masa pensiun. Pertama, Obligasi Pemerintah Pusat (Government Bonds). Obligasi ini merupakan suatu jenis obligasi yang dikeluarkan oleh suatu pemerintah pusat dari suatu negara dengan tujuan untuk membiayai dan membangun Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Di Indonesia saat ini hanya obligasi Bank Indonesia yang dipasarkan di pasar internasional yang dimaksudkan untuk bench mark bagi obligasi BUMN dan perusahaan swasta nasional. Obligasi pemerintah daerah (municipal bonds), obligasi ini merupakan suatu jenis obligasi yang dikeluarkan oleh suatu pemerintah daerah dengan tujuan untuk membiayai dan membangun Badan Usaha Milik Daerah. Undang-undang Otonom daerah memungkinkan Pemda untuk mengeluarkan obligasi, karena Pemda sudah lebih bebas menentukan kebijakan dalam memajukan daerahnya. Obligasi Pemda belum ada di Indonesia, walaupun dari segi potensi ada beberapa Pemda yang mempunyai prospek untuk mengeluarkan obligasi dalam rangka menambah dana investasi Pemda. Obligasi perusahaan swasta (corporate bonds). Obligasi ini merupakan suatu obligasi yang diterbitkan oleh suatu perusahaan swasta yang membutuhkan dana atau modal secara cepat dalam rangka membangun dan memperluas bisnis perusahaannya. Di Indonesia, obligasi perusahaan swasta ini diterbitkan oleh suatu perusahaan yang telah memenuhi persyaratan dan pernyataan pendaftarannya telah dinyatakan efektif oleh Bapepam.
Hubungan hukum yang timbul atas perjanjian dalam penerbitan obligasi ini menurut Wirjono Projodikoro merupakan perjanjian pinjam meminjam (Hutang-Piutang). Dasar hukum yang mengatur perjanjian pinjam meminjam adalah Pasal 1754-1769 KUHPerdata : “Pinjam meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain sejumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Perjanjian pinjam meminjam terkait dari kesepakatan para pihak yang terkait dalam obligasi. Penerbitan obligasi sendiri tercipta suatu hubungan  hukum antara para pihak yaitu antara emiten dan wali amanat, emiten dan investor, dan antara wali amanat dan investor.
Akibat penerbitan obligasi yang timbul dari hubungan hukum dalam perjanjian pinjam meminjam yaitu timbulnya hak dan kewajiban antara pihak peminjam (kreditur) dan pihak yang meminjamkan (debitur), hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1759 dan Pasal 1763 KUHPerdata. Pasal 1759 KUHPerdata : “Orang yang meminjamkna tidak dapat meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya sebelum lewatnya waktu yang ditentukan dalama perjanjian”. Pasal 1763 KUHPerdata : “Siapa yang menerima pinjaman, sesuatu diwajibkan mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama pada waktu yang ditentukan”.
Hubungan hukum antara emiten dan investor dalam transaksi perdagangan obligasi antara lain berupa kewajiban membayar pinjaman beserta bunga oleh emiten kepada investornya, dengan demikian, timbulnya perjanjian antara kedua belah pihak. Dalam hal ini kedudukan investor sebagai kreditur dan emiten sebagai debitur. Hal ini karena emiten meminjam uang kepada investor, sehingga timbul kewajiban bagi emiten untuk mengembalikan uang yang dipinjamnya kepada investor yang sesuai dengan yang telah diperjanjikannya. Sehingga kedudukan emiten adalah sebagai debitur dan pemegang obligasi sebagai kreditur. Pemegang obligasi berhak atas pengembalian hutang pokok obligasi (hoofdsom) dan juga bunga (interessen) dari hutang pokok tersebut. Hubungan hukum antara emiten dan wali amanat adalah hubungan hukum antara penerbit obligasi dan pihak yang mewakili investor. Hubungan keduanya diawali oleh kewajiban dari setiao emiten yang ingin menerbit obligasi untuk menunjuk salah satu pihak independen sebagai wali amanat yaitu pihak yang mewakili calon investor. Hubungan hukum antara emiten dengan wali amanat dibuat dalam suatu kontrak perwaliamanatan. Pada waktu ini wali amanat adalah dianggap sebagai wakil para pemegang obligasi yang nantinya akan membeli obligasi dari penerbit. Kontrak perwaliamanatan merupakan perjanjian tak bernama yang diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata yang menyebutkan, semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kesepakatan atas perjanjian yang dibuat secara sah merupakan undang-undang bagi pihak-pihak yang membuaT.

referensi : Kurnia Sari

Etika dan Moral Politik vs Penegakan Hukum

Etika dan Moral Politik vs Penegakan Hukum
Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.


 Dalam praktiknya antara Politik dan Hukum memang sulit dipisahkan, karena setiap suatu rezim yang sedang berkuasa disetiap negara punya “politik hukum” sendiri dalam melaksana konsep tujuan pemerintahannya khususnya yang berhubungan dengan pembangunan dan kebijakan-kebijakan politiknya baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Maka jangan heran jika di negeri ini begitu terjadi pergantian Pemerintahan yang diikuti adanya pergantian para Menteri maka aturan dan kebijakan yang dijalankannya juga ikut berganti, dan setiap kebijakan politik harus memerlukan dukungan berupa payung hukum yang merupakan politik hukum dari kekuasaan rezim yang sedang berkuasa agar rezim tersebut memiliki landasan yang sah dari konsep dan strategi politik pembangunan yang dijalankannya. Strategi politik dalam memperjuangkan politik hukum tersebut harus dijalankan dengan mengindahkan etika dan moral politik.

Adapun “Etika Politik” harus dipahami dalam konteks “etika dan moral secara umum”. Bicara tentang “etika dan moral” setidaknya terdiri dari tiga hal, yaitu: pertama, etika dan moral Individual yang lebih menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri. Salah satu prinsip yang secara khusus relevan dalam etika individual ini adalah prinsip integrasi pribadi, yang berbicara mengenai perilaku individual tertentu dalam rangka menjaga dan mempertahankan nama baiknya sebagai pribadi yang bermoral. Kedua, etika moral sosial yang mengacu pada kewajiban dan hak, sikap dan pola perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam interaksinya dengan sesamanya. Tentu saja sebagaimana hakikat manusia yang bersifat ganda, yaitu sebagai makhluk individual dan sosial. Ketiga, etika Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan hubungan antara manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai kelompok dengan lingkungan alam yang lebih luas.

Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Hukum yang keberadaannya merupakan produk dari “keputusan politik” dari politik hukum sebuah rezim yang sedang berkuasa, sehingga tidak bisa dihindarkan dalam proses penegakan hukum secara implisit ‘campur tangan rezim yang berkuasa’ pasti ada. Apalagi system Pemerintahan Indonesia dalam konteks “Trias Politica” penerapannya tidaklah murni, dimana antara Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif keberadaannya tidak berdiri sendiri. Indonesia menjalankan konsep trias politica dalam bentuk ‘sparation of powers’ (pemisahan kekuasaan) bukan ‘division of power’ (pembagian kekuasaan). Dimana tanpak di dalam proses pembuatan undang-undang peran pemerintah begitu dominan menentukan diberlakukannya hukum dan undang-undang di negeri ini.

Kenyataan ini sebenarnya dapat menimbulkan ketidak puasan rakyat dalam proses penegakan hukum di Indonesia apa lagi di sisi lain para politikus di negeri ini kurang memahami dan menghormati “etika politik” saat mereka menjalankan proses demokrasi yang selalu cenderung melanggar hukum dan aturan main yang mereka sepakati sendiri, sehingga tidak berlebihan banyak yang mempertanyakan moral politik dari para politikus bangsa ini. Ekses dari ketidakpuasan rakyat di dalam praktik demokrasi dan penegakan hukum yang terjadi selama ini telah memunculkan fenomena distrust dan disintegrasibangsa yang pada gilirannya mengancam keutuhan NKRI. Tidaklah heran sejak tahun 2001, MPR-RI mengeluarkan Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dimana lahirnya TAP ini, dipengaruhi oleh lemahnya pemahaman terhadap etika berbangsa, bernegara, dan beragama. Munculnya kekahwatiran para wakil rakyat di MPR tersebut terungkap sejak terjadinya krisis multidimensi yang memunculkan ancaman yang serius terhadap persatuan bangsa, dan terjadinya kemunduran pelaksanaan etika kehidupan berbangsa. Hal itu tampak dari konflik sosial yang berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini.

Jadi etika politik pada gilirannya punya kontribusi yang kuat bagi baik-tidaknya proses penegakan hukum di negeri ini, apalagi moral para Penegak Hukum yang sudah terlanjur bobrok, maka tidak dapat dipungkiri lengkaplah sudah runyamnya penegakan hukum di negeri tercinta Indonesia.

Maka sebelum terlanjur parah dan tidak tertolong lagi, mau tidak mau kita semua harus segera membangun moral bangsa ini, beri rakyat contoh dan suri teladan yang baik dari para Penguasa, para Politikus, para Tokoh masyarakat dan Agama, bangun system pendidikan dengan mengedepankan pendidikan akhlak dan kepribadian jadi hal yang juga turut menentukan lulus tidaknya para Siswa dan Mahasiswa, tanpa budaya etika dan moral yang dimiliki generasi penerus pada gilirannya Indonesia pasti akan hancur sebagai negara yang berdaulat dan bermartabat, bahkan rakyat akan merasakan nasibnya akan jauh lebih buruk daripada saat-saat rakyat Indonesia dijajah oleh Belanda dahulu.

KUHP Tidak Mengenal Putusan

KUHAP Tidak Mengenal Putusan "Bebas Tidak Murni"
Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.



 Pasal 244 Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Pasal 244 KUHAP ini adalah satu-satunya landasan hukum untuk melakukan upaya hukum kasasi di dalam perkara pidana, dan seperti kita ketahui jika disimak di dalam pasal tersebut kata demi kata tidak ada kata-kata yang menerangkan putusan ‘bebas murni’ atau ‘putusan bebas tidak murni’. Bahwa memang semua putusan Pengadilan, khususnya dalam peradilan pidana terhadap pihak-pihak yang tidak puas dapat dilakukan upaya hukum, baik itu upaya hukum biasa berupa Banding dan Kasasi, maupun upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (herziening) sebagaimana diatur di dalam Bab XVII dan Bab XVIII UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP.

Namun khusus untuk putusan bebas dalam pengertian “Bebas Murni” yang telah diputuskan oleh judexfactie sesungguhnya tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Ketentuan ini ditegaskan di dalam pasal 244 KUHAP sebagaimana dikutip di atas. Namun dalam praktiknya Jaksa/Penuntut Umum selalu tidak mengindahkan ketentuan ini, hampir semua putusan bebas (bebas murni) oleh Penuntut Umum tetap dimajukan kasasi. Jika dicermati sebenarnya di dalam pasal 244 KUHAP tidak membedakan apakan putusan bebas tersebut murni atau tidak, yang ada hanya “Putusan Bebas”. Tapi dalam praktiknya telah dilakukan dikotomi, yaitu putusan bebas murni atau bebas tidak murni, entah dari mana dan siapa yang melakukan dikotomi per istilah an tersebut. Yang jelas Penuntut Umum beranggapan putusan yang ‘bebas tidak murni’ dapat dilakukan upaya hukum kasasi.

Adapun tentang alasan Jaksa/Penuntut Umum yang tetap mengajukan kasasi terhadap putusan bebas murni selalu mengambil berdalih, antara lain : 1) Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (Judexfactie) telah salah menerapkan hukum pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat (3) dan ayat (6) KUHAP ; 2) Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang ; 3) Putusan Judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak), melainkan putusan “bebas tidak murni”.

Sedangkan dalil hukum yang digunakan Jaksa/Penuntut Umum dalam memajukan kasasi terhadap putusan bebas adalah selalu sama yaitu mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang di dalam butir ke-19 TPP KUHAP tersebut ada menerangkan, “ Terdahadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini didasarkan yurisprudensi ”.

Intinya TPP KUHAP ini menegaskan perlunya Yurisprudensi yang dijadikan rujukan atau referensi untuk mengajukan kasasi terhadap putusan bebas. Jadi kalau dipertanyakan apa kriteria TPP KUHAP terhadap kalimat “.. berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi.” TPP KUHAP tidak memberikan kriteria yang tegas selain hanya berdasarkan penafsiran sepihak dari Jaksa/Penuntut Umum. Padahal kita sangat tahu betul bahwa TPP KUHAP adalah merupakan Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) dan Keputusan Menteri Kehakiman ini derajadnya jauh di bawah Undang-undang, dalam hal ini adalah UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP yang merupakan produk Legislatif dan eksekutif. Sehingga TPP KUHAP yang berkaitan tentang itu isinya bertentangan dengan KUHAP itu sendiri, sehingga upaya hukum yang dilakukan oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas adalah cacat hukum dan tidak boleh ditoleransi.

Secara hukum dapat dipastikan TPP KUHAP dan Yurisprudensi tidak cukup kuat atau tidak dapat lagi dijadikan dalil hukum bagi Jaksa/Penuntut Umum untuk melakukan kasasi terhadap putusan bebas sebagaimana dimaksud di dalam pasal 244 KUHAP tersebut, karena TPP KUHAP yang merupakan produk Keputusan Menteri Kehakiman dan Putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap yang telah menjadi yurisprudensi sejak tahun 2000 bukan merupakan sumber tertib hukum yang berlaku di Indonesia.

Dalam TAP MPR RI No. III tahun 2000 telah menetapkan Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai Sumber Tertib Hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu : 1) UUD 1945 ; 2) Ketetapan MPR RI ; 3) Undang-undang ; 4).Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perpu) ; 5).Peraturan Pemerintah ; 6) Keputusan Presiden yang Bersifat Mengatur ; dan 7). Peradturan daerah ;.

Yurisprudensi dalam putusan bebas tidak dapat dijadikan dalil hukum oleh Jaksa/Penuntut Umum, apalagi jika mengingat banyaknya Hakim di dalam memutuskan suatu perkara menganut asas “opportunity” yang pada gilirannya mengakibatkan tidak tegasnya apakah yurisprudensi dapat menjadi sumber hukum atau tidak. Dimana hal ini terjadi dikarenakan di satu sisi mereka (Hakim) dalam memutus perkara mengikuti aliran Legisme, dengan alasan tidak boleh menyimpang dari apa yang diatur oleh Undang-undang, namun di lain sisi mereka mengikuti Aliran “Rechtsvinding” dengan alasan menyelaraskan Undang-undang dengan tuntutan zaman. Bahkan tidak jarang terjadi di dalam praktiknya asas “opportunity” melahirkan kecenderungan didasarkan pada kepentingan pribadi dari Hakim yang bersangkutan, sehingga sudah saatnya kedudukan “Yurisprudensi” harus ditertibkan kepada tujuannya semula yaitu, Yurisprudensi hanya dapat dijadikan referensi dan berguna untuk mengisi kekosongan hukum ketika dalam suatu perkara atau upaya hukum belum ada aturan hukum atau Peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengaturnya.

Tegasnya dalil hukum yang dijadikan dasar oleh penuntut umum untuk selalu memajukan kasasi terhadap “putusan bebas”, di samping bertentang dengan TAP MPR RI No.III tahun 2000 tentang Tertib Hukum yang berlaku di Indonesia, juga bertentang dengan Asas Hukum Universal yaitu, Lex superior derogat legi lex inferiori (asas yang menegaskan bahwa hukum yang lebih tinggi kedudukannya mengesampingkan hukum yang lebih rendah kududukannya

Pengelolaan Perusahaan yang Baik


PENGELOLAAN PERUSAHAAN YANG BAIK : TANGGUNG JAWAB
PEMEGANG SAHAM, KOMISARIS, DAN DIREKSI


Oleh : Erman Rajagukguk*
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 telah menggantikan Undang-Undang No. 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Sebelum tahun 1995, pengaturan Perseroan
Terbatas dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), yang berasal dari
Negeri Belanda dan diperlakukan di Indonesia mulai tahun 1848.1
Paragraph-paragraph berikut ini akan menguraikan tanggung jawab Pemegang
Saham dan Direktur menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru. Putusanputusan
Pengadilan pada masa lalu akan melengkapi pula uraian berikut ini karena masih
relevan, sebab bunyi ketentuannya tidak berubah sejak berlakunya Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD) dan kemudian digantikan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun
1995. Beberapa ketentuan mengenai tanggung jawab Pemegang Saham dan Komisaris
dalam Undang-Undang yang baru sama pula dengan ketentuan dalam Undang-Undang No.
1 Tahun 1995.
Walaupun Indonesia digolongkan dalam negeri dengan sistem hukum “Civil Law”
yang tidak menganut “Stare Decisis Doctrine” seperti “Common Law”, yaitu hakim yang
belakangan wajib mengikuti putusan-putusan hakim terdahulu dalam perkara yang faktanya
sama; terlihat dari uraian berikut ini perlunya konsistensi putusan hakim di Indonesia untuk
menciptakan kepastian hukum.
Putusan-putusan Pengadilan, khususnya putusan Mahkamah Agung menjadi penting
untuk menjelaskan maksud Undang-Undang dan konsistensi penerapan hukum perusahaan
di Indonesia. Mahkamah Agung dengan putusan-putusannya dapat berfungsi sebagai
lembaga yang menciptakan unifikasi, menjalankan reformasi, dan melaksanakan
pengawasan terhadap Pengadilan di bawahnya.2
Tanggung Jawab Pemegang Saham
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru menyatakan
bahwa Pemegang Saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan
yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan
melebihi saham yang dimiliki. Ayat (2), ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku apabila :
* Guru Besar Universitas Indonesia. Sarjana Hukum (SH) Universitas Indonesia (1974), LL.M.
University of Washington, School of Law, Seattle (1984), Ph.D University of Washington, School of Law,
Seattle (1988). Dekan Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia.
1 R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia sebelum Perang Dunia Ke-II, (Jakarta : Pradnja Paramita,
1972), h. 10.
2 Erman Rajagukguk, “Mahkamah Agung : Unifikasi, Reformasi, dan Pengawasan”, Fokus, 18
Maret 1983.
2
a. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. Pemegang Saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan
itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
c. Pemegang Saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh Perseroan; atau
d. Pemegang Saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara
melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan
Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.
Pasal 3 ayat (2a) Undang-Undang yang baru ini yang menyatakan, bahwa
Pemegang Saham bertanggung jawab pribadi bila persyaratan Perseroan sebagai badan
hukum belum atau tidak terpenuhi; adalah sama dengan Pasal 3 ayat (2a) Undang-Undang
No. 1 Tahun 1995. Ketentuan tersebut juga sama dengan Pasal 39 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD).
Pasal 38 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) menyatakan para persero
diwajibkan mendaftarkan akta Perseroan seluruhnya beserta pengesahan yang diperolehnya
dalam register umum yang disediakan untuk itu di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang
mana dalam daerah hukumnya Perseroan itu mempunyai tempat kedudukannya, sedangkan
mereka diwajibkan mengumumkannya dalam Berita Negara. Segala sesuatu yang tersebut
di atas berlaku juga terhadap segala perubahan dalam syarat-syarat pendiriannya, atau
dalam hal waktu perseroan diperpanjang.
Selanjutnya Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) menyatakan
selama pendaftaran dan pengumuman tersebut belum diselenggarakan, maka sekalian
pengurusnya adalah orang demi orang dan masing-masing bertanggung jawab untuk
seluruhnya, atas tindakan mereka terhadap pihak ketiga.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) tidak disebutkan tanggung
jawab Pemegang Saham, bila Akta Pendirian belum didaftarkan di Kementerian
Kehakiman. Namun demikian Pengadilan Negeri Semarang dalam Raden Roosman v.
Perusahaan Otobis N.V. Sendiko, No. 224/1950/Perdata (1951) memutuskan, karena
“persekutuan sero” dalam perkara ini belum mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman
sebagai badan hukum, pengesahan mana adalah syarat mutlak bagi berdirinya suatu
Persekutuan Sero (NV), maka seharusnya yang digugat ialah semua persero yang telah
menandatangani perjanjian.
Sengketa ini bermula dari Raden Roosman, Penggugat, telah ditetapkan menjadi
Presiden Direktur Perusahaan Otobis N.V. Sendiko dan mendapat hak atas honorarium
setiap bulan mulai bulan Maret 1950. Namun mulai 1 Oktober 1950, Penggugat meletakkan
jabatannya dengan mengundurkan diri. Alasan pengunduran dirinya adalah ingin aktif di
lapangan lain dan juga karena honorariumnya tidak dibayar sejak bulan Juli 1950. Ia
menggugat N.V. Sendiko, yang diwakili oleh Liem Khian An yang mengurus keuangan
N.V. Sendiko.
Pengadilan dalam pertimbangannya menyatakan, apakah N.V. Sendiko memang
benar suatu badan hukum atau tidak, oleh sebab hal ini sangat penting artinya bagi dapat
atau tidak diterimanya gugatan Pengugat oleh Pengadilan. Adalah suatu kenyataan N.V.
Sendiko belum mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman sebagai badan hukum,
3
sehingga menurut Pengadilan Perseroan itu hanya merupakan suatu perjanjian belaka
diantara pesero-pesero. Berdasarkan Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD), pihak pengurus dari perkutuan yang disahkan, adalah masing-masing
bertanggung jawab sendiri-sendiri untuk seluruhnya atas segala akibat dari semua tindakan
yang dijalankan oleh mereka masing-masing terhadap orang lain.
Pengadilan berpendapat, karena itulah gugatan Pengugat terhadap Tergugat dalam
bentuk selaku persekutuan sero N.V. Sendiko menurut hukum tidak tepat. Seharusnya yang
digugat itu semua persero yang telah menandatangani perjanjian sebagaimana yang dibuat
dimuka Notaris Gusti Djohan tersebut. Dalam putusannya, Pengadilan menyatakan gugatan
tidak dapat diterima.3
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru menyatakan
Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan Akta Notaris yang dibuat dalam
Bahasa Indonesia. Pasal 7 ayat (5) menyatakan, setelah Perseroan memperoleh status badan
hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, maka dalam jangka waktu
paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut, pemegang saham yang
bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau Perseroan
mengeluarkan saham baru kepada orang lain.
Selanjutnya ayat (6) menyatakan, bahwa bila jangka waktu tersebut telah lampau,
pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, maka pemegang saham bertanggung
jawab secara pribadi atas segala perikatan atau kerugian Perseroan dan atas permohonan
pihak yang berkepentingan Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan tersebut.
Pasal tersebut sama dengan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), tidak ada ketentuan
pemegang saham menjadi bertanggung jawab pribadi, bila ia satu-satunya pemegang
saham. Akan tetapi Mahkamah Agung Indonesia pada tahun 1973, jadi sebelum lahirnya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995, berpendapat sama dengan Pengadilan Tinggi Jakarta,
Perseroan Terbatas yang pemegang sahamnya 1 (satu) orang, maka harta pribadi pemegang
saham tersebut dapat disita untuk pembayaran hutang yang dibuat perseroan.
Hal ini dapat dilihat dalam perkara O. Sibarani v. PT. Perusahaan Pelayaran
Samudera “Gesuri Lloyd”, No. 21/Sip/1973 (1973). Sengketa ini bermula dari PT. Gesuri
Lloyd, sebagai penggugat dalam perkaranya melawan PT. Toko Tujuh Belas/Bank Pertiwi,
telah mengajukan permintaan kepada Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta, untuk
melakukan penyitaan eksekusi atas rumah Jl. Sam Ratulangi No. 24 Jakarta. Penyitaan
eksekusi dilaksanakan pada tanggal 29 Desember 1970. Pemohon O. Sibarani, meminta
agar penyitaan tersebut dicabut, karena rumah itu bukan milik PT. Toko Tujuh Belas, tetapi
miliknya pribadi.
Menurut Penggugat, bahwa PT. Toko Tujuh Belas yang dipimpin oleh Pembantah,
O. Sibarani dan ia juga pendirinya, telah mempunyai hutang karena telah menerima 5000
peti susu dari Penggugat. Hutang Pembantah O. Sibarani tersebut telah dibenarkan oleh
Keputusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 91/686 yang diperkuat dengan putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta No. 183/1969 PT.Perdata. Putusan tersebut mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat, karena Pembantah tidak mengajukan kasasi.
3 Raden Roosman v. Perusahaan Otobis N.V. Sendiko, No. 224/1950/Perdata (1951).
4
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam pertimbangannya, menyatakan, antara lain,
bahwa PT. Tujuh Belas yang sudah mempunyai status badan hukum, yang bertanggung
jawab atas hutang PT, bukan pengurusnya dalam hal ini O. Sibarani. Berdasarkan alasan
ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan mencabut penyitaan eksekusi tersebut.4
Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta tidak sependapat dengan Pengadilan
Negeri.
Pengadilan Tinggi berpendapat PT. Tujuh Belas adalah suatu Perseroan Terbatas
yang praktis perusahaan satu orang, karena O. Sibarani satu-satunya pemegang saham.
Mengingat juga hutang perusahaan meliputi $ 32,841.27 yang tidak dijamin oleh harta
kekayaan lain dari perusahaan, Pengadilan Tinggi berpendapat penyitaan rumah Jalan Sam
Ratulangi No. 24 tersebut dapat dibenarkan. Pengadilan Tinggi memutuskan membatalkan
putusan Pengadilan Negeri.5
Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung membenarkan pertimbangan Pengadilan
Tinggi, bahwa PT. Tujuh Belas dalam prakteknya, dan bukan menurut hukum adalah
perusahaan satu orang dari O. Sibarani dengan nama P.T., dan oleh karena itu penyitaan
rumah tersebut milik Penggugat dapat dibenarkan.6
Putusan Mahkamah Agung ini merupakan hukum yang diciptakan oleh hakim,
karena Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang berlaku waktu putusan ini
dibuat, tidak memuat ketentuan seperti yang diputuskan Mahkamah Agung tersebut. Baru
pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1995, substansi ini dicantumkan pada Pasal 7 ayat (4)
dan kemudian ditempatkan lagi dalam pasal 7 ayat (6) Undang-Undang Perseroan Terbatas
yang baru.
Tanggung Jawab Komisaris
Pasal 14 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007, antara lain menyatakan anggota Dewan
Komisaris bertanggung jawab secara tanggung renteng dengan semua anggota Direksi,
apabila perseroan melakukan perbuatan hukum pada masa perseroan belum memperoleh
status badan hukum.
Selanjutnya Pasal 69 ayat (3) menyatakan bahwa amggota Dewan Komisaris yang
menandatangani laporan keuangan yang ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan,
bertanggung jawab secara tanggung renteng dengan anggota Dewan Direksi yang
menandatangani juga laporan keuangan tersebut.
Berkenaan dengan tugas-tugas Komisaris, pasal 114 ayat (1) menyatakan Dewan
Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 108 ayat (1).
Ayat (2) menentukan setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik,
kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian
4 O. Sibarani v. PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Gesuri Lloyd”, No. 28/1971 G (1971).
5 O. Sibarani v. PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Gesuri Lloyd”, No. 293/Pdt/1971/PT.DKI
(1972).
6 O. Sibarani v. PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Gesuri Lloyd”, No. 21/Sip/1973 (1973).
5
nasihat kepada Direksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Ayat (3) menyatakan, bahwa
setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian
Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Ayat (4) menyebutkan, bahwa dalam hal Dewan Komisaris terdiri atas 2 (dua)
anggota Dewan Komisaris atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Dewan Komisaris.
Namun demikian menurut ayat (5), anggota Dewan Komisaris tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat
membuktikan:
a. telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
b. tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan Direksi yang mengakibatkan kerugian; dan
c. telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.
Pasal 114 ayat (6) adalah gugatan “derivative action” oleh Pemegang Saham
terhadap anggota Dewan Komisaris. Dikatakan, atas nama perseroan pemegang saham
yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara dapat menggugat anggota Dewan Komisaris yang karena kesalahan atau
kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan ke pengadilan negeri.
Pasal 115 mengatur tanggung jawab Komisaris berkenaan dengan kepailitan. Ayat
(1) menyebutkan, bahwa dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian
Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan
oleh Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban
Perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung
renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum
dilunasi. Ayat (2) menyatakan, bahwa tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku juga bagi anggota Dewan Komisaris yang sudah tidak menjabat 5 (lima) tahun
sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
Namun demikian sebagaimana dinyatakan dalam ayat (3), anggota Dewan
Komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kepailitan Perseroan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) apabila dapat membuktikan:
a. kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan oleh Direksi yang mengakibatkan kepailitan; dan
d. telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan.
6
Tanggung Jawab Direksi Sebelum Perseroan
Mempunyai Status Badan Hukum
Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Perseroan yang baru menyatakan Perseroan
memperoleh status badan hukum setelah Akta Pendiriannya disahkan oleh Menteri. Pasal
14 ayat (1) Undang-Undang yang baru ini menyatakan, perbuatan hukum atas nama
Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum hanya boleh dilakukan oleh
anggota Direksi bersama-sama semua pendiri, serta semua anggota Dewan Komisaris
Perseroan. Perbuatan hukum tersebut menjadi tanggung renteng semua pendiri, anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris.
Selanjutnya, Pasal 30 menyatakan Menteri mengumumkan dalam Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia :
a. akta Pendirian Perseroan beserta Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (4);
b. akta perubahan anggaran dasar Perseroan beserta Keputusan Menteri sebagaimana
dimaksud dalam pasal 21 ayat (1);
c. akta perubahan anggaran dasar yang telah diterima pemberitahuannya oleh Menteri.
Undang-Undang Perseroan yang baru ini tidak menetapkan tanggung jawab Direksi
sebelum dilaksanakan pendaftaran dan pengumuman. Ketentuan tersebut di atas berbeda
dengan Pasal 23 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995, dimana dikatakan, selama pendaftaran
dan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1995 belum dilakukan, maka Direksi secara tanggung renteng bertanggung
jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan.
Ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tersebut sama dengan Pasal 39
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), yaitu selama pendaftaran dan
pengumuman tersebut belum diselenggarakan, maka sekalian pengurusnya adalah orang
demi orang dan masing-masing bertanggung jawab untuk seluruhnya, atas tindakan mereka
terhadap pihak ketiga.
Menarik untuk mencermati dua putusan Pengadilan berikut ini pada waktu
ketentuan Perseroan Terbatas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
masih berlaku.
Pertama, dalam Rama v. H. Abas Ubadi dan Tedjakusuma, No. 1139 K/Sip/1973
(1976), Mahkamah Agung membenarkan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi, bahwa kelalaian untuk memenuhi Pasal 38 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD), yaitu para pesero wajib mendaftarkan akta pendirian beserta pengesahaanya
dalam register umum dan mengumumkan dalam Berita Negara, mengakibatkan para
persero bertanggung jawab pribadi.
Pengadilan Negeri Bandung telah melaksanakan sita jaminan terhadap sebuah sedan
Chevrolet Impala pada tanggal 29 Mei 1971 milik PT. Puja. Pembantah mengatakan mobil
itu bukan miliknya pribadi, sehingga penyitaan tersebut tidak sah, karena benda tersebut
tidak dapat dipertanggungjawabkan atas hutang-piutang Direktur atau pemegang sahamnya.
Direktur tersebut adalah anak Pembantah bernama Rama.
7
Pengadilan Negeri Bandung ingin mempertimbangkan lebih dahulu apakah PT. Puja
sudah mempunyai status Badan Hukum atau belum, karena dengan status Badan Hukum
itulah PT. Puja berhak ke Pengadilan.
Semula pada tanggal 24 Oktober 1952, didirikan PT. Dagang dan Motor ”Sumber
Motor NV”. Pada tanggal 9 Pebruari 1957, perusahaan ini berubah nama ”NV. Perseroan
Dagang Sumber General Trading Corporation”. Pada tanggal 9 Oktober 1961, perusahaan
ini berubah lagi menjadi “PT. Pudja & Industrial Corporation”.
Walaupun NV. Sumber Motor telah mendapat persetujuan Menteri Kehakiman 22
Oktober 1953, kemudian didaftarkan di Pengadilan Negeri Bandung 23 Maret 1954, namun
ternyata belum diumumkan dalam Berita Negara. Perubahan-perubahan tersebut belum
pernah didaftarkan di Pengadilan Negeri Bandung dan belum diumumkan dalam Berita
Negara.
Pengadilan Negeri, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa Pasal 38 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) menentukan “Kesemuanya yang tersebut di atas
berlaku juga bagi perobahan-perobahan dalam syarat-syarat dan perpanjangan waktu
perseroan”. PT. Puja, menurut Pengadilan Negeri tidak dapat memenuhi syarat-syarat
sebagaimana diminta oleh Pasal 38 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), maka
ia tidak mempunyai status badan hukum, karena kalau tidak pernah dilakukan pengumuman
tersebut hanyalah diperlakukan sebagai suatu Firma. Oleh karenanya, menurut Pengadilan
Negeri, PT. Puja tidak dapat maju ke depan Pengadilan.7
Pengadilan Tinggi Bandung membatalkan putusan Pengadilan Negeri, karena mobil
tersebut telah dilelang.8 Mahkamah Agung memperkuat putusan Pengadilan Tinggi.9
Dalam perkara lain Tjhin Min You dan Thio Guan Hoe v. Hamlan HS, No. 297
K/Sip/1974 (1976), Penggugat Hamlan HS, telah berperkara dengan ayah Tergugat I, di
Banjarmasin, dan memohon penyitaan jaminan rumah ayah Tergugat I di Jl. Mangga Besar
124 Jakarta. Ketika rumah tersebut hendak dilelang, Tjew Su Tjhin menunjukkan sertifikat.
Rumah tersebut adalah rumah yang dibeli oleh ayah Tergugat I Thio Sin Min, tetapi dibalik
nama atas nama Tergugat I, agar terlepas dari tuntutan hukum PT. Pancamitra yang
mempunyai tagihan atas Firma Thio Sin Min. Penjualan rumah tersebut sangat merugikan
kreditor dalam hal ini PT. Pancamitra.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Penggugat Hamlan HS selaku Direktur Utama
PT. Pancamitra minta Pengadilan menyatakan batal demi hukum jual beli rumah Jl.
Mangga Besar 124 tersebut.
Sebelum mengambil putusan, Pengadilan mempertimbangkan apakah Hamlan HS
atau PT. Pancamitra sebagai Penggugat? Kemudian apakah PT. Pancamitra tersebut benarbenar
merupakan P.T., menurut hukum Indonesia?
Ternyata PT. Pancamitra telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman pada
tanggal 18 Juli 1981. Pengadilan Negeri membatalkan perjanjian jual beli rumah Jl.
Mangga Besar 124 tersebut.10
7 Rama v. H. Abas Ubadi dan Tedjakusuma, No. 433/71/C/Bdg/Bantahan (1972).
8 Rama v. H. Abas Ubadi dan Tedjakusuma, No. 171/1972/Perd/PTB (1973).
9 Rama v. H. Abas Ubadi dan Tedjakusuma, No. 1139 K/Sip/1973 (1976).
10 Tjhin Min You dan Thio Guan Hoe v. Hamlan HS, No. 429/1970 G. (1970).
8
Pada tingkat banding, Tergugat II menyatakan dalam eksepsinya, bahwa jelas dari
surat gugatan 30 April 1970 tercantum “Hamlan HS”, tidak bertindak selaku Direktur untuk
dan atas nama badan hukum Pancamitra dan juga tidak tercantum PT. Pancamitra yang
dalam hal ini diwakili oleh Direkturnya Hamlan HS. Menurut hukum harus dibedakan tegas
antara natuurlijk persoon Hamlan HS dan badan hukum PT. Pancamitra.
Tergugat II menyatakan pula, PT. Pancamitra belum merupakan suatu badan hukum
sebagai P.T., oleh karenanya PT. Pancamitra baru hanya sekedar mendapat pengesahan dari
Departemen Kehakiman mengenai naskahnya, tetapi belum atau tidak diumumkan dalam
Berita Negara Republik Indonesia dan belum/tidak didaftarkan pada Pengadilan Negeri
tempat kedudukannya. Pengumuman dalam Berita Negara dan pendaftaran pada Pengadilan
Negeri adalah merupakan conditio sine qua non bagi suatu perseroan untuk dapat bertindak
dan menyebut dirinya Badan Hukum.
Pengadilan Tinggi tidak dapat menerima eksepsi Tergugat II tersebut, antara lain
karena dengan adanya pengesahan Menteri Kehakiman terhadap PT. Pancamitra,
perusahaan tersebut sudah merupakan suatu Badan Hukum; sedangkan belum diadakan
pendaftaran dan pengumuman hanya membawa akibat bagi pertanggungjawaban pengurus
terhadap pihak ketiga (Pasal 39 KUH Dagang).11
Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung menyatakan Hamlan HS bertindak selaku
Direktur Pancamitra, sebagaimana pendapat Pengadilan Tinggi. Mahkamah Agung juga
berpendapat, seandainya benar PT. Pancamitra belum diumumkan dalam Berita Negara, hal
itu tidak berarti bahwa P.T. tersebut belum merupakan badan hukum, melainkan hanya
pertanggungjawaban terhadap pihak ketiga adalah seperti di atur dalam Pasal 39 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Hal tersebut tidak mempunyai akibat hukum
bahwa P.T. tersebut tidak mempunyai “persona standi in judicio”.12
Putusan Pengadilan Negeri berikut ini menetapkan seluruh pemegang saham,
komisaris dan pengurus bertanggung jawab pribadi dan tanggung renteng, karena kredit
diberikan kepada suatu Perseroan Terbatas yang belum memperoleh status badan hukum
dan tentu belum diumumkan dalam Tambahan Berita Negara.
Dalam PT. Evergreen Printing Glass v. Willem Sihartoe Hoetahoeroek dan
BNI 1946 Cabang Jakarta Kota, No. 220/1976 G (1977), sengketa bermula dari
Penggugat PT. Evergreen Printing Glass menggugat Presiden Direkturnya sendiri Willem
Sihartoe Hoetahoeroek.
Pada tanggal 29 Desember 1975 telah dilakukan persetujuan membuka kredit antara
Tergugat I dan Tergugat II sebesar Rp. 62.500.000,- sebagai jaminan kredit tersebut telah
diserahkan oleh Tergugat I barang-barang miliknya pribadi kepada Tergugat II, yaitu tanah
seluas 1.643 m2 berserta rumah di atasnya.
Penggugat menyatakan, antara lain, bahwa :
1. Bahwa menurut Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) sebelum
Akta Pendirian dan Anggaran Dasar sebuah P.T. diumumkan didalam Berita
Negara, maka pengurus bertanggung jawab secara perseorangan atas pebuatannya
11 Tjhin Min You dan Thio Guan Hoe v. Hamlan HS, No. 119/1973 Perdata (1973).
12 Tjhin Min You dan Thio Guan Hoe v. Hamlan HS, No. 297 K/Sip/1974 (1976).
9
terhadap pihak ketiga. Karena PT. Evergreen Printing Glass belum mendapat
pengesahan dari Menteri Kehakiman dan tentu belum diumumkan dalam Tambahan
Berita Negara maka Tergugat I bertanggung jawab pribadi bagi pengembalian kredit
tersebut kepada Tergugat II.
2. Tergugat I beritikad buruk, dan perbuatan melawan hukum Tergugat I lebih terbukti
lagi, karena Tergugat I mengganti jaminan kredit tersebut dari barang-barang
pribadinya menjadi tanah, gedung dan mesin-mesin Penggugat, tanpa minta
persetujuan Direksi lainnya dan Dewan Komisaris.
Penggugat, antara lain berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas meminta
Pengadilan Negeri Jakarta Barat – Selatan, antara lain, menyatakan perbuatan Tergugat I
merupakan perbuatan melanggar hukum. Selanjutnya menyatakan perjanjian membuka
kredit adalah untuk dan atas nama Tergugat I pribadi, dan tidak mengikat Penggugat.
Tergugat I dalam eksepsinya, yaitu bantahan bukan mengenai pokok perkara,
menjawab antara lain, bahwa Akta Pendirian PT. Evergreen Printing Glass dan perubahanperubahannya
belum mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman dan belum didaftarkan
dalam daftar umum di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, karenanya belum merupakan suatu
badan hukum yang dapat diwakili oleh seorang Direktur. Oleh karenanya tindakan Direktur
haruslah mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari seluruh persero.
Dalam pokok perkara, Tergugat I menjawab gugatan Penggugat, dengan
menyatakan, antara lain, bahwa BNI 46 Cabang Jakarta Kota (Tergugat II) dalam suratnya
kepada PT. Evergreen Printing Glass (Penggugat) tertanggal 26 Desember 1975,
menyatakan kredit dapat diberikan dengan syarat-syarat antara lain, sebesar Rp.
15.000.000,- adalah untuk pelunasan tanah pabrik. Anggunan adalah harta tetap milik
perusahaan dan harta milik para pesero/pengurus sampai jumlah yang cukup. Setelah suratsurat
pemilikan PT. Evergreen Printing Glass dapat diselesaikan dengan pelunasan tanah
pabrik, maka barang anggunan milik pribadi Tergugat I, sesuai perjanjian dengan Tergugat
II, dapat diganti dengan harta milik perusahaan. Surat-surat bukti pemilikan tanah dari
perusahaan telah mencukupi syarat-syarat anggunan kredit bank tersebut.
Akhirnya Tergugat I meminta agar Pengadilan, antara lain, menyatakan bahwa
Penggugat mempunyai hutang kepada Tergugat II sesuai dengan Persetujuan Membuka
Kredit tanggal 30 Desember 1975 dan menghukum Penggugat untuk membayar Rp.
69.524.203,- beserta bunga dan denda lainnya kepada Tergugat II.
Pengadilan Negeri Jakarta Barat – Selatan dalam pertimbangannya, bahwa ternyata
benar, akta pendirian yang memuat anggaran dasar dari PT. Evergreen Printing Glass
tersebut belum dimintakan persetujuan dari Menteri Kehakiman, sehingga belum juga
diumumkan dalam Berita Negara. Karena hal-hal itu belum dilakukan, sedang sebelumnya
P.T. tersebut sudah bekerja dan bertindak keluar, antara lain sudah mengadakan hubungan
hukum dengan Tergugat II, maka Pengadilan menganggap PT. Evergreen Printing Glass
tersebut status hukumnya masih merupakan sebuah perseroan firma. Akibatnya para pesero
dan para pengurusnya bertanggung jawab sepenuhnya secara tanggung menanggung
terhadap setiap perjanjian yang telah dibuat atas nama perseroan.
Sebagai akibat pertanggungjawaban secara tanggung menanggung tersebut, maka
apabila salah seorang pesero mengadakan tindakan hukum keluar, termasuk mengajukan
10
gugatan di Pengadilan, ia tidak perlu mendapat kuasa khusus dari para persero/pengurus
lainnya, sebab sudah dengan sendirinya para pesero/pengurus lainnya itu terikat oleh segala
tindakan yang dilakukan oleh salah seorang persero tersebut.
Pengadilan berpendapat, karena status Penggugat masih belum merupakan P.T.,
maka pengurus-pengurusnya yang bertanggung jawab atas kredit tersebut, maka sudah
selayaknya barang-barang milik para pengurus menjadi jaminan kredit, maka pelepasan
barang-barang jaminan Penggugat ditolak.13
Belum diperoleh putusan Pengadilan Tinggi dan/atau putusan Mahkamah Agung
mengenai perkara ini.
Perkara menarik lainnya mengenai tanggung jawab Direksi, Komisaris dan
Pemegang Saham sebelum Akta Pendirian dan Anggaran Dasar P.T. mendapat pengesahan
Menteri Kehakiman dan belum diumumkan dalam Berita Negara dapat dilihat dalam
perkara PT. Bank Niaga v. Guardi Sunardi, Ny. Tan Seng Gwek, A. Hadrawi dan
Ferdy Hardi Wijaya, No. 520 K/Pdt/1996 (1997). Sengketa ini bermula dari permohonan
kredit yang dikabulkan oleh Penggugat untuk Tergugat Asli I, II, III dan IV tanggal 7
September 1989. Para Tergugat menandatangani surat utang sebesar Rp. 140.000.000,- dan
harus dibayar 7 September 1992. Ternyata para Tergugat tidak mampu membayarnya.
Dalam gugatannya Penggugat minta agar Pengadilan menyatakan Tergugat I, II, III
dan Tergugat IV baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama telah berhutang kepada
Penggugat dari penerimaan fasilitas kredit pinjaman trasaksi khusus sebesar Rp.
142.421.968,- dan menyatakan Tergugat I, II, III dan IV telah wanprestasi. Selanjutnya
menghukum Tergugat I, II, III dan IV baik sendiri-sendiri maupun secara tanggung renteng
membayar secara tunai dan sekaligus sebesar Rp. 142.421.968,- beserta bunga pinjaman
sebesar 13,5% setahun dari outstanding pinjaman yang belum terbayar.
Tergugat III dan IV dalam jawabannya menyatakan bahwa yang berhutang
sesungguhnya adalah PT. Dharma Winarco yang telah mendapat pengesahan dari Menteri
Kehakiman tanggal 11 April 1989. Para Tergugat berpendapat, menurut hukum yang harus
digugat adalah PT. Dharma Winarco dan bukan pribadi Tergugat III dan IV baik sebagai
pemegang saham maupun sebagai Direktur dan atau Komisaris PT. Dharma Winarco
tersebut. PT. Dharma Winarco selaku subyek hukum, yang mempunyai hak dan kewajiban
yang terpisah dengan pengurus dan pemegang saham harus ditempatkan sebagai Tergugat.
Dan kepadanyalah harus dibebani kewajiban membayar hutang-hutangnya kepada
Penggugat, karena PT. Dharma Winarco mempunyai kekayaan sendiri dan tidak bisa
dibebankan kepada pribadi Tergugat III dan IV. Dengan demikian kekayaan Tergugat III
dan IV tidak dapat dibebani penyitaan.
Pengadilan Negeri Ujung Pandang dalam putusannya menyatakan tanggal 5
Pebruari 1994 mengabulkan gugatan Penggugat secara keseluruhan. Menghukum Tergugat
I, II, III dan Tergugat IV baik sendiri-sendiri atau secara tanggung renteng membayar
13 PT. Evergreen Printing Glass v. Willem Sihartoe Hoetahoeroek dan BNI 1946 Cabang Jakarta
Kota, No. 220/1976 G (1977).
11
hutangnya kepada Penggugat secara tunai dan sekaligus sebesar Rp. 142.421.968,-
ditambah bunga pinjaman sebesar 13,5% setahun.14
Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Ujung Pandang tanggal 19 Oktober 1994
membatalkan Pengadilan Negeri Ujung Pandang Tersebut.15
Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung menyatakan, antara lain, bahwa Pengadilan
Tinggi telah keliru dalam menerapkan hukum mengenai prinsip pertanggungjawaban
perngurus sebuah Perseroan. Pada waktu Tergugat I, II, III dan IV atas nama PT. Dharma
Winarco, meminjam uang dan menerima fasilitas kredit dari Penggugat dan kemudian
menandatangani surat hutang dengan memakai jaminan No. 46 pada tanggal 7 September
1989, status PT. Dharma Winarco belum memperoeh pengesahan Menteri Kehakiman
sebagai badan hukum. Status hukum dan tanggung jawab PT. Dharma Winarco ketika itu
jelas adalah bersifat Firma, dengan demikian yang harus bertanggung jawab melunasi
hutang atas nama PT. Dharma Winarco yang dibuat oleh para pengurusnya adalah Tergugat
I, II, III dan Tergugat IV secara tanggung renteng. Kemudian ternyata PT. Dharma Winarco
mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman untuk memperoleh status sebagai Badan
Hukum, maka tentu tanggung jawab renteng Tergugat I, II, III dan Tergugat IV bagi
pengembalian fasilitas kredit tersebut, tidaklah harus menurut hukum karena tanggung
jawab renteng tersebut telah diperjanjikan terlebih dahulu oleh Penggugat dengan Tergugat
I, II, III dan IV. Jika memang ada perubahan tanggung jawab PT. Dharma Winarco yang
semula bersifat Firma, menjadi tanggung jawab terbatas, maka perubahan tersebut
disamping tidak mengikat Penggugat juga tidak menghapus tanggung jawab Tergugat I, II,
III dan IV secara tanggung renteng atas penyelesaian hutang kepada Penggugat.
Menurut Mahkamah Agung lagi, bahwa walaupun PT. Dharma Winarco sudah ada
pengesahan sebagai badan hukum dari Menteri Kehakiman, namun perjanjian fasilitas
kredit dan surat hutang yang ditandatangani para Tergugat dengan memakai jaminan
tanggal 7 September 1989 tetap mengikat kedua belah pihak sebagai Undang-Undang
(Pasal 1338 BW) dan para Tergugat bertanggung jawab atas pelunasannya.
Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Ujung Pandang
terdahulu dan memutuskan antara lain menghukum Tergugat I, II, III dan Tergugat IV baik
sendiri-sendiri atau secara tanggung renteng membayar hutangnya kepada Penggugat
secara tunai dan sekaligus sebesar Rp. 142.421.968,- ditambah bunga pinjaman sebesar
13,5% setahun.16
Sayangnya tidak terungkap dalam perkara ini, apakah para pemegang saham
mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang memutuskan segala tindakan
sebelum pengesahan perusahaan sebagai badan hukum; dengan adanya surat keputusan
Menteri Kehakiman tersebut, menjadi tanggung jawab perseroan. Jika ada RUPS mengenai
hal tersebut dapat diperkirakan surat hutang tersebut di atas tidak berlaku lagi.
14 PT. Bank Niaga v. Guardi Sunardi, Ny. Tan Seng Gwek, A. Hadrawi dan Ferdy Hardi Wijaya, No.
31/PTS.PDT.G/1993/PN.UJ.PDG (1994).
15 PT. Bank Niaga v. Guardi Sunardi, Ny. Tan Seng Gwek, A. Hadrawi dan Ferdy Hardi Wijaya, No.
125/PDT/1994/PT.UJ.PDG (1994).
16 PT. Bank Niaga v. Guardi Sunardi, Ny. Tan Seng Gwek, A. Hadrawi dan Ferdy Hardi Wijaya, No.
520 K/Pdt/1996 (1997).
12
Tanggung Jawab Direksi Setelah Perseroan
Memiliki Status Badan Hukum
Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru menyatakan
Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri
mengenai Pengesahan Badan Hukum Perseroan.
Selanjutnya Pasal 14 ayat (1) menyatakan, perbuatan hukum atas nama Perseroan
yang belum memperoleh status Badan Hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota
Direksi bersama-sama semua pendiri, serta semua anggota Dewan Komisaris Perseroan,
mereka semua bertanggung jawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut.
Ayat (2) Pasal 14 selanjutnya menyatakan, dalam hal perbuatan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas dilakukan oleh pendiri atas nama Perseroan
yang belum memperoleh status badan hukum, perbuatan hukum tersebut menjadi tanggung
jawab pendiri yang bersangkutan dan tidak mengikat perseroan.
Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru, Pasal 30 ayat (1) menyatakan,
Menteri mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia :
a. akta Pendirian Perseroan beserta Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (4);
b. akta perubahan anggaran dasar Perseroan beserta Keputusan Menteri sebagaimana
dimaksud dalam pasal 21 ayat (1);
c. akta perubahan anggaran dasar yang telah diterima pemberitahuannya oleh Menteri.
Pengumuman yang dilakukan oleh Menteri tersebut harus terlaksana dalam 14 hari
setelah keputusan Menteri lahir.
Tampaknya Undang-Undang yang baru ini menetapkan, bahwa setelah Perseroan
Terbatas mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum, Pemegang Saham, Komisaris,
dan Direksi tidak bertanggung jawab pribadi. Tidak ada satu pasal pun yang menetapkan
bagaimana tanggung jawab Pemegang Saham, Komisaris dan Direksi dalam periode setelah
Akta Pendirian dan Anggaran Dasar mendapat pengesahan sebagai badan hukum sampai
dengan perusahaan tersebut didaftarkan dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 yang lama, dalam Pasal 23 menyatakan, selama
pendaftaran dan pengumuman belum dilakukan maka Direksi secara tanggung renteng
bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan. Ketentuan Pasal 23
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 sama dengan Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD).
Beberapa putusan Mahkamah Agung berikut ini pada waktu Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD) masih berlaku dapat memberikan gambaran tentang tanggung
jawab Direksi setelah perusahaan mendapat status badan hukum.
Dalam perkara Herman Rachmat v. Ny. Maryam Abas, No. 268 K/Sip/1980
(1982), Mahkamah Agung berpendapat Tergugat Ny. Maryam Abas sejak tanggal 20
Desember 1977 bukanlah Direktris lagi dari PT. Cikembang. Oleh karena PT. Cikembang
telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman tanggal 13 Januari 1976, dengan
demikian Perseroan Terbatas tersebut telah merupakan dan berbentuk badan hukum. Oleh
13
karena itu Penggugat tidak dapat mengajukan gugatan terhadap pribadi tergugat, yang tidak
ada hubungan dan sangkut paut sama sekali dengan PT. Cikembang.
Perkara ini bermula dari PT. Cikembang pada masa Direktrisnya Ny. Maryam Abas,
yang memesan bahan-bahan bangunan untuk proyeknya yang bernilai Rp. 23.869.655,-.
Sampai dengan Pengugat mengajukan gugatannya, hutang tersebut belum dibayar.
Pengadilan Negeri berpendapat, yang harus digugat adalah PT. Cikembang, yang
diwakili oleh Direkturnya yang sekarang, bukan Direkturnya yang telah berhenti, yaitu
Tergugat Ny. Maryam Abas.17
Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya menyatakan :
“..., akan tetapi apabila kewajiban hukum tersebut adalah tanggung jawab PT.
Cikembang sebagai “rechts persoon” maka yang harus disebutkan dalam gugatan
adalah pengurusnya yang sekarang, sebab tanggung jawab dari suatu badan hukum
adalah melekat pada badan hukum itu sendiri.”18
Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung membenarkan putusan Pengadilan Tinggi,
sehingga menolak permohonan kasasi dari Penggugat, Herman Rachmat tersebut.19
Putusan Mahkamah Agung lainnya yang menarik adalah Ny. Sardjiman PS v.
Subardi dan PT. Sapta Manggala Tunggal, No. 597 K/Sip/1983 (1984), dimana
Mahkamah Agung menolak gugatan Penggugat terhadap Tergugat I, karena dalam hal ini ia
bertindak untuk dan atas nama P.T. sehingga hanya P.T. sajalah yang dapat
dipertanggungjawabkan. Atas hutang-hutang P.T. tidak dapat diadakan “conservatoir
beslag” terhadap harta pribadi direkturnya.
Penggugat Ny. Sardjiman PS, telah biasa menjual bahan-bahan bangunan kepada
Tergugat I. Pada bulan Februari 1979, Tergugat I telah mengambil bahan-bahan bangunan
berupa semen, besi beton, dan lain-lain seharga Rp. 1.625.625,-. Hutang tersebut belum
dibayar sehingga merugikan Penggugat sebagai pedagang kecil. Tergugat I Subardi, dalam
jawabannya, menyatakan yang seharusnya menjadi Tergugat hanya Tergugat II. PT. Sapta
Manggala Tunggal, karena Tergugat I dirinya selalu Direktur Utama PT. Sapta Manggala
Tunggal tidak bertanggung jawab atas hutang-hutang Perseroan tersebut. Begitu juga tidak
dapat dilakukan “conservatoir beslaag” atas rumah pribadinya.
Pengadilan Negeri Jogyakarta, dalam pertimbangannya menyatakan, antara lain,
karena Tergugat I menandatangani pesanan-pesanan bahan bangunan tersebut sebagai
Wakil Direktur, maka ia tidak bisa lepas dari hutang yang dibuat PT. Sapta Manggala
Tunggal.
Dalam putusannya, Pengadian Negeri Jogyakarta, menyatakan sah dan berharga sita
jaminan atas tanah dan rumah milik Tergugat I dan menghukum Tergugat I dan Tergugat II
PT. Sapta Manggala Tunggal secara tanggung renteng membayar Rp. 1.625.625,- kepada
Penggugat.20
17 Herman Rachmat v. Ny. Maryam Abas, No. 188/1978/C/Bdg (1979).
18 Herman Rachmat v. Ny. Maryam Abas, No. 244/1979/Perd.PTB (1979).
19 Herman Rachmat v. Ny. Maryam Abas, No. 268 K/Sip/1980 (1982).
20 Ny. Sardjiman PS v. Subardi dan PT. Sapta Manggala Tunggal, No. 88/1979/Pdt/G/PN.Yk (1980).
14
Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi dalam pertimbangan hukumnya, antara
lain, menyatakan : “Tidak tepat alasan Pengadilan Negeri bahwa sdr. Subardi, Tergugat I
telah menandatangani pesanan-pesanan kepada Penggugat atas nama PT. Sapta Manggala
Tunggal, maka Tergugat I tidak dapat lepas begitu saja dari tanggung jawab atas
tindakannya”, sebab seorang yang menandatangani suatu surat atas nama orang lain, tidak
dapat secara pribadi dimintai pertanggungjawaban mengenai isi surat tersebut.
PT. Sapta Manggala Tunggal telah mendapatkan pengesahan dari Menteri
Kehakiman, diumumkan dan didaftarkan sesuai Pasal 38 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD), dan oleh karena itu tanggung jawab terhadap para kreditur Perseroan
Terbatas hanya pada Perseroan Terbatas itu saja sebagai badan hukum, maka sebagai
demikian memiliki kekayaan serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban sendiri terpisah dari
kekayaan para pemegang saham masing-masing. Tergugat I menjabat Direktur perusahaan
dan dalam pesanan-pesanan selalu dengan kepala surat “PT. Sapta Manggala Tunggal” dan
menurut saksi-saksi juga pesanan itu untuk perusahaan.
Pengadilan Tinggi berpendapat, terbukti menurut hukum, Tergugat I memesan dan
menerima barang-barang pesanan untuk dan atas nama PT. Sapta Manggala Tunggal.
Pengadilan Tinggi memutuskan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jogya.
Pengadilan Tinggi menetapkan jual beli hanya antara Penggugat dan Tergugat II, PT. Sapta
Manggala Tunggal.21
Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung memperkuat putusan Pengadilan Tinggi
tersebut dan menyatakan sita jaminan oleh juru sita Pengadilan Negeri Jogyakarta tidak sah
dan tidak berharga.22
Perkara berikut ini juga diputuskan pada saat masih berlakunya Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang antara PT. (Persero) Asuransi Kerugian Jasa Raharja v.
Setiarko dan KRT. Rubyanto Argonadi Hamidjojo, No. 419/K/Pdt/1988 (1993). Dalam
perkara ini Mahkamah Agung juga berpendapat, bahwa tidak dapat seorang direktur
dituntut secara pribadi, sedangkan seharusnya P.T. bersangkutan yang digugat, karena P.T.
merupakan suatu badan hukum tersendiri.
Perkara ini bermula dari Penggugat sebagai “Surety Company” mengadakan
perjanjian dengan Tergugat I, secara bersama-sama memberi jaminan kepada pihak ketiga
pemilik proyek. Apabila yang dijamin (kontraktor), Tergugat I lalai menjalankan
kewajibannya terhadap pemilik proyek, maka kontraktor harus membayar ganti rugi.
Apabila kontraktor, Tergugat I, tidak mampu membayar, maka “Surety Company”
akan membayar kerugian yang timbul, sampai jumlah maksimum nilai penjaminan kepada
pemilik proyek.
Selanjutnya, Tergugat I bersama-sama dengan indemnator, Tergugat II, membayar
kembali segala biaya kerugian yang dikeluarkan Tergugat I ditambah bunga 8% setahun.
Hal tersebut di atas dituangkan dalam perjanjian tanggal 14 Januari 1982.
Akibat kelalaian Tergugat I, selaku kontraktor dalam pelaksanaan proyek
pembangunan prasarana Balai Pendidikan Latihan Keuangan (BPLK) dan Kampus STAN,
Penggugat selaku Surety Company telah membayar kepada pemilik proyek sebesar Rp.
21 Ny. Sardjiman PS v. Subardi dan PT. Sapta Manggala Tunggal, No. 27/1982/Pdt/PT.Yk (1982).
22 Ny. Sardjiman PS v. Subardi dan PT. Sapta Manggala Tunggal, No. 597 K/Sip/1983 (1984).
15
137.486.055,78,-. Ternyata Tergugat I tidak dapat membayar jumlah uang tersebut kepada
Penggugat, sehingga lahirlah perkara ini, dimana Tergugat I Setiarko, dan Tergugat II
KR.T.Rubyanto Argonadi Hamidjojo, masing-masing untuk diri sendiri dan selaku Direktur
perusahaan menjadi Tergugat.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat, karena tidak digugatnya PT. Graha
Gapura dimana Tergugat I Setiarko sebagai Direktur, maka mengakibatkan gugatan
menjadi kabur. Menurut Pengadian Negeri, Tergugat I yang telah diberhentikan sebagai
Direktur adalah bukan unsur yang bertanggung jawab lagi terhadap PT. Graha Gapura,
karena ia yang menandatangani perjanjian tersebut untuk kepentingan PT. Graha Gapura.
Pengadilan Negeri menyatakan gugatan terhadap Tergugat I tidak dapat diterima.
Selanjutnya, mengenai digugatnya Tergugat II KRT.Rubyanto Argonadi Hamidjojo dalam
kedudukannya sebagai Direktur Utama PT. Rencong Aceh Semen, yang hingga perkara
tersebut timbul, masih menjabat, maka sebagai unsur yang bertanggung jawab atas P.T.
yang dipimpinnya, gugatan terhadap dirinya sudah tepat dan dapat diterima.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian memutuskan, bahwa kerugian sebesar
Rp. 137.468.055,78,- tersebut harus ditanggung oleh PT. Graha Gapura dan PT. Rencong
Aceh Semen secara tanggung renteng. Pengadilan Negeri menghukum Tergugat II sebagai
Direktur Utama dan mewakili PT. Rencong Aceh Semen untuk membayar kepada
Penggugat bagiannya dan hutang, yaitu setengah dari hutang kepada Penggugat.23
Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi menguatkan putusan Pengadilan Negeri
tersebut, dengan menyatakan gugatan terhadap Tergugat I tidak dapat diterima dan
menghukum Tergugat II sebagai Direktur Utama dan mewakili PT. Rencong Aceh Semen
untuk membayar setengah dari hutang tersebut kepada Penggugat.24
Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung berpendapat, bahwa Perseroan Terbatas
(PT) adalah badan hukum dan merupakan subjek hukum, dan dalam perkara ini PT. Graha
Gapura dan PT. Rencong Aceh Semen yang melakukan perbuatan hukum berupa perjanjian
umum tentang ganti rugi dengan PT. (Persero) Arusansi Kerugian Jasa Raharja
(Penggugat), sehingga gugatan seharusnya diajukan terhadap PT. Graha Gapura dan PT.
Rencong Aceh Semen dan bukan kepada Direkturnya.
Menurut Mahkamah Agung, bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan/Pengadilan
Tinggi Jakarta telah keliru dalam pertimbangannya tersebut di atas mengenai gugatan
terhadap Tergugat asal I dan Tergugat asal II yang ditunjuk kepada orang-orangnya selaku
pribadi dan selaku Direktur PT. Rencong Aceh Semen. Apalagi gugatan tersebut diterima
atau tidaknya digantungkan kepada masih atau tidaknya orang-orang yang digugat tersebut
menjabat sebagai Direktur Perseroan Terbatas tersebut. Oleh karena itu putusan Pengadilan
Tinggi Jakarta sekedar mengenai gugatan terhadap Tergugat asal II haruslah dibatalkan.
Selanjutnya Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari pemohonpemohon
kasasi Setiarko untuk diri sendiri dan selaku Direktur PT. Graha Gapura dan
KRT. Rubyanto Argonadi Hamidjojo untuk diri sendiri dan selaku Direktur Utama PT.
Rencong Aceh Semen. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
23 PT. (Persero) Asuransi Kerugian Jasa Raharja v. Setiarko dan KRT. Rubyanto Argonadi
Hamidjojo, No. 047/Pdt/G/1986/PN.Jkt.Sel (1986).
24 PT. (Persero) Asuransi Kerugian Jasa Raharja v. Setiarko dan KRT. Rubyanto Argonadi
Hamidjojo, No. 350/Pdt/1987/PT.DKI (1987)
16
tanggal 27 Agustus 1987, No. 350/Pdt/1987/PT.DKI dan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan tanggal 20 November 1986, No. 047/Pdt/G/1986/PN/Jkt.Sel.
Mahkamah Agung menyatakan gugatan terhadap Tergugat I dan Tergugat II tidak
dapat diterima.25
Tanggung Jawab Pribadi Direktur
Perseroan Terbatas
Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru, menyatakan
Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan.
Pasal 97 ayat (1) menyatakan, Direksi bertanggung jawab atas pengurusan
Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) tersebut di atas. Ayat (2) pasal
ini menyatakan, pengurusan sebagaimana dimaksud pada Pasal 97 ayat (1), wajib
dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
Selanjutnya ayat (3) menyebutkan, setiap anggota Direksi bertanggung jawab secara
pribadi atas kerugian Perseroan, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan
tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Dalam hal Direksi
terdiri dari 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, maka tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi (ayat
4).
Pasal 97 ayat (5) menyatakan anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan
atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), apabila dapat membuktikan :
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan
dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut.
Didalam mengelola perusahaan, Direktur memiliki kebebasan tertentu mengelola
perusahaan yang dipercayainya sebagai jalan yang terbaik. Jika Direktur melakukan
kesalahan, perusahaan yang membayar ongkosnya.
Direktur tidak dapat dituntut didepan Pengadilan sebagai merugikan perusahaan
sepanjang keputusannya itu tidak terjadi karena kelalaiannya didalam proses pengambilan
keputusan. Tidak seorang pun mau menjadi Direktur, bila ia bertanggung jawab bila
perusahaan mengalami kerugian, dalam arti usaha bisnis adakalanya rugi disamping
untung.
Hakim tidak bisa menjadi “Direktur kedua” yang membuat keputusan bisnis, karena
hakim tidak mempunyai kompetensi dalam membuat keputusan bisnis. Business Judgment
25 PT. (Persero) Asuransi Kerugian Jasa Raharja v. Setiarko dan KRT. Rubyanto Argonadi
Hamidjojo, No. 419/K/Pdt/1988 (1993).
17
Rule, adalah aturan bahwa keputusan Direktur adalah valid dan mengikat dan tidak bisa
dikesampingkan atau diserang oleh para pemegang saham.
Namun “Business Judgment Rule” tidak pula melindungi Direktur, bila ia
melanggar “duty of loyality”. “Business Judgment Rule” hanya melindungi Direktur, bila
ia dalam memutus menyakini bahwa putusan itulah yang terbaik untuk perusahaan,
bertindak dengan itikad baik dan penuh kejujuran, tidak untuk kepentingan dirinya sendiri.
Pasal 97 ayat (3) menyatakan, seseorang anggota Direksi bertanggung jawab secara
pribadi atas kerugian perseroan, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan
tugasnya. Ia tidak menjalankan perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
(ayat 2).
Bunyi Pasal 97 ayat (2) sama dengan bunyi Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang No. 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Kemudian Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang
Perseroan Terbatas yang baru sama dengan Pasal 85 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun
1995 yang lama.
Jika melihat kebelakang, Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
menyatakan, bahwa tanggung jawab pengurus adalah tak lebih dari pada menunaikan tugas
yang diberikan kepada mereka dengan sebaik-baiknya. Mereka pun karena segala perikatan
dari perseroan, dengan diri sendiri tidak terikat kepada pihak ketiga.
Apabila mereka melanggar suatu ketentuan dalam Akta, atau tentang perubahan
yang kemudian diadakan mengenai syarat-syarat pendirian, maka atas kerugian yang
karenanya telah diderita oleh pihak ketiga, mereka itu masing-masing dengan diri sendiri
bertanggung jawab untuk seluruhnya.
Suatu putusan Mahkamah Agung yang menarik adalah tentang tanggung jawab
seorang Direktur bank yang menarik cek kosong atas nama bank tersebut dengan itikad
tidak jujur. Mahkamah Agung berpendapat karena Direktur tersebut adalah salah seorang
yang ditentukan oleh Tergugat, Bank tersebut, untuk menarik Banker’s Cheque atas nama
Bank, maka akibat apapun dari perbuatan Direktur tersebut adalah tanggung jawab
sepenuhnya dari Bank (Tergugat), lebih-lebih karena ternyata bahwa cheque dalam perkara
ini telah ditarik tanpa paksaan atau tipu muslihat. Tanggung jawab pribadi Direktur
tersebut, merupakan prosedur intern bank.
Dalam Pe A tjong v. PT. Bank Persatuan Dagang Indonesia, No. 367
K/Sip/1972, perkara ini bermula dari Penggugat yang memiliki satu lembar cheque Bank
Negara Unit I yang diberikan oleh Bank Persatuan Dagang Indonesia Cabang Medan
kepada Penggugat tanggal 21 April 1967 berjumlah Rp. 2.000.000,-. Bank Negara Unit I
pada tanggal 25 April 1967 karena Tergugat tidak mempunyai saldo yang cukup pada Bank
Negara Unit I Medan.
Pengadilan Negeri Medan dalam pertimbangannya menyatakan, bahwa Tergugat
tidak membantah bahwa Mak Kim Goan adalah salah seorang yang ditentukan oleh
Tergugat untuk menandatangani cheque Tergugat yaitu berupa “banker’s cheque”. Bahwa
kemudian ternyata cheque-cheque tersebut disalahgunakan oleh Mak Kim Goan sebagai
Direktur, keadaan ini tidak dapat dibebankan kepada orang luar. Oleh karenanya
Pengadilan Negeri mengabulkan gugatan Penggugat, menghukum Tergugat PT. Bank
18
Persatuan Dagang Indonesia membayar kepada Penggugat Rp. 2.000.000,- ditambah bunga
6% sejak tanggal 25 April 1967.26
Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi berpendapat, bahwa gugatan Penggugat
tidak tepat pada sasarannya dengan alasan berikut ini.
Mak Kim Goan sebagai Direktur setelah diberitahu oleh saksi pertama, bahwa
posisi Bank yang tidak mungkin untuk mengeluarkan Banker’s Cheque, ternyata tidak
mengindahkan hal tersebut. Padahal ini telah menjadi ketentuan yang harus dituruti oleh
Direktur. Kemudian ternyata cheque dimaksud tidak disuruh bukukan oleh Mak Kim Goan.
Menurut Pengadilan Tinggi, Mak Kim Goan telah memperalat Tergugat (PT. Bank
Persatuan Dagang Indonesia) untuk kepentingan pribadinya. Perbuatannya itu jelas
melanggar aturan-aturan yang semestinya dipatuhinya, jadi ia beritikad tidak jujur.
Keadaan seperti tersebut di atas tidak dapat dibebankan tanggung jawabnya kepada
PT. Bank Persatuan Dagang Indonesia (Tergugat), akan tetapi adalah tanggung jawab Mak
Kim Goan pribadi.
Dengan alasan tersebut di atas, Pengadilan Tinggi Medan membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Medan.27
Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung berpendapat, antara lain, bahwa Tergugat
mengakui Mak Kim Goan bertindak untuk mengeluarkan dan menarik Banker’s Cheque,
sehingga Penggugat berhak menagih jumlah yang disebutkan dalam cheque tersebut.
Penarikan sheque tersebut adalah sesuai dengan Anggaran Dasar Tergugat dan memenuhi
syarat-syarat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, sedangkan Penggugat tidak
mengetahui kepalsuan cheque tersebut.
Keberatan-keberatan Penggugat seperti diuraikan di atas dapat dibenarkan, karena
Tergugat megakui bahwa Mak Kim Goan adalah salah seorang yang ditentukan Tergugat
untuk menarik Banker’s Cheque. Jadi soal prosedure intern adalah tanggung jawab
Tergugat sendiri, terlebih-lebih Banker’s Cheque dalam perkara ini ditarik tanpa ada
paksaan dan tipu muslihat.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut Mahkamah Agung membatalkan
putusan Pengadilan Tinggi Medan dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan.
Disamping itu, Mahkamah Agung memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Medan, dengan
menetapkan bunga 6% setahun, bukan 6% sebulan seperti diputuskan Pengadilan Negeri
Medan.28
Perkara PT. Evergreen Printing Glass v. Willem Siharto Hoetahoeroek dan
BNI 46 Cabang Jakarta Kota, No. 220/1976 G (1977), berkenaan pula dengan apakah
seorang Direktur bertanggung jawab pribadi, karena dalam meminjam uang dipersangkakan
tidak mendapat persetujuan dari salah seorang Komisaris.
Dalam perkara ini Penggugat mendalilkan antara lain, bahwa Tergugat I melanggar
Pasal 10 ayat (1) Akta Pendirian Perseroan, dimana untuk meminjam uang atas nama
perseroan dan mengikat perseroan sebagai penanggung/penjamin haruslah Presiden
26 Pe A tjong v. PT. Bank Persatuan Dagang Indonesia, No. 268/1968 (1968).
27 Pe A tjong v. PT. Bank Persatuan Dagang Indonesia, No.361/1969 (1971).
28 Pe A tjong v. PT. Bank Persatuan Dagang Indonesia, No. 367 K/Sip/1972 (1973).
19
Direktur mendapat persetujuan dari sekurang-kurangnya seorang anggota Direksi dan dua
orang Komisaris. Penggugat menyatakan salah satu Komisaris yaitu Ny. Soerta Hasiholan
Hoetahoeroek Rajagukguk telah meninggal dunia dua hari sebelum surat persetujuannya
dilegalisir oleh Notaris pada tanggal 29 Desember 1975, sehingga Surat Kuasa itu tidak
sah. Dengan demikian Tergugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Dalam bantahannya, Tergugat I mengatakan telah mendapat persetujuan dari semua
persero untuk menandatangani Perjanjian Membuka Kredit untuk dan atas nama perseroan.
Begitu juga surat persetujuan dari Ny. Soerta Hasiholan Hoetahoeroek Rajagukguk
diberikannya dua hari sebelum ia meninggal, yang waktu itu tidak diberi tanggal. Surat ini
yang dilegalisir Akta Notaris pada tanggal 29 Desember 1975, 2 hari setelah yang
bersangkutan meninggal. Tanda tangan surat yang dilegalisir tersebut tidak palsu atau
dipalsukan. Dengan demikian terbukti Tergugat I tidak beritikad buruk dan tidak
melakukan perbuatan melawan hukum.
Oleh karena penandatanagan Perjanjian Membuka Kredit tersebut oleh Tergugat I,
telah mendapat persetujuan dari seorang anggota Direksi dan dua orang Komisaris, oleh
karenanya Tergugat I bertindak untuk dan atas nama PT. Evergreen Printing Glass
(Penggugat), maka yang harus bertanggung jawab mengembalikan pinjaman tersebut
adalah Penggugat.
Pengadilan Negeri berpendapat, bahwa Penggugat tidak menyangkal kebenaran
tanda tangan Ny. Soerta Rajagukguk, salah seorang komisaris yang meninggal dunia, dan
Penggugat tidak menyangkal adanya persetujuan Komisaris tersebut sebelum meninggal
dunia untuk mendapatkan kredit tersebut. Oleh karenanya secara materiil persetujuan untuk
mendapatkan kredit tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 10 ayat (1) Akta Pendirian
Perseroan.
Dalam perkara ini, seperti diterangkan sebelumnya (halaman 7 dan 8), Pengadilan
berpendapat, karena statur Penggugat PT. Evergreen Printing Glass belum merupakan
badan hukum, maka seluruh pengurusnya bertanggung jawab atas kredit tersebut.29
Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru, menyatakan
Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan. Ayat (2) pasal ini selanjutnya menyatakan, Direksi
berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
kebijakan yang dipandangnya tepat, daam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang
Perseroan Terbatas ini dan/atau Anggaran Dasar.
Kemudian Pasal 97 ayat (1) menyatakan, Direksi bertanggung jawab atas
pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1). Ayat (2)
menyebutkan, pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap
anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Selanjutnya ayat (3)
menentukan, bahwa setiap anggota Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian
Perseroan, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
29 PT. Evergreen Printing Glass v. Willem Sihartoe Hoetahoeroek dan BNI 1946 Cabang Jakarta
Kota, No. 220/1976 G (1977).
20
Ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas seperti diuraikan di atas pada
prinsipnya sama dengan Pasal 85 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995. Pasal 85 ayat (1)
berbunyi : “Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan”. Ayat (2) pasal ini menyatakan,
setiap anggota Direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan
bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru lebih jelas mengenai tanggung
jawab Direksi atas perbuatannya yang tidak mendapat persetujuan Komisaris, padahal
persetujuan tersebut diwajibkan oleh Anggaran Dasar Perseroan.
“Ultra Vires”
Mahkamah Agung pada tahun 1996 pernah memutuskan bahwa hutang yang dibuat
oleh Direksi tanpa persetujuan Komisaris sebagaimana yang diharuskan dalam Anggaran
Dasar, menjadi tanggung jawab pribadi Direksi yang bersangkutan.
Dalam perkara PT. Usaha Sandang v. PT. Dhaseng Ltd, PT. Interland Ltd, dan
Mediarto Prawiro, No. 3264 K/Pdt/1992 (1996), sengketa yang bermula dari Tergugat III
Mediarto Prawiro yang mengakui berhutang kepada PT. Dhaseng Ltd (Tergugat I) dan PT.
Interland Ltd (Tergugat II) sebesar Rp. 342.480.158,72,-.
Tergugat I dan II adalah suatu P.T. yang telah mendapat pengesahan dari
Departemen Kehakiman, akan tetapi belum didaftarkan di Pengadilan Negeri setempat serta
belum diumumkan dalam Tambahan Berita Negara, sehingga berdasarkan Pasal 39 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Tergugat III sebagai Presiden Direktur wajib
bertanggung jawab secara pribadi dan seluruhya terhadap pihak ketiga untuk perbuatanperbuatannya.
Berdasarkan “Surat Perjanjian Pembayaran Tekstil” dan persetujuan tanggal 22
Oktober 1985, Tergugat III untuk diri sendiri maupun sebagai Presiden Direktur dari
Terggugat I (PT. Dhaseng Ltd) dan Tergugat II (PT. Interland Indonesia Ltd) telah
mengadakan perjanjian dengan Penggugat.
Berdasarkan perjanjian tersebut, Penggugat berkali-kali meminta pembayaran dari
para Tergugat, tetapi para Tergugat mengulur-ngulur waktu dengan mengatakan uang klaim
asuransi beum diterima. Padahal PT. Asuransi Dharma Bangsa telah membayar klaim
asuransi tersebut kepada para Tergugat. Oleh karena Penggugat, mohon Pengadilan Negeri
memutuskan menghukum para Tergugat, antara lain secara tanggung renteng membayar
Rp. 342.480.158,72,- dengan bunga 3% perbulan terhitung sejak tanggal 22 Oktober 1986
sampai hutang dibayar seluruhnya.
Para Tergugat mengajukan eksepsi bahwa Pengadilan Negeri Bandung tidak
berwenang mengadili perkara ini, karena semua Tergugat berkedudukan di Jakarta.
Selanjutnya, menurut para Tergugat, perjanjian tidak sah karena tidak ada tanggal,
ditandatangani dalam keadaan panik karena para Tergugat mendapat musibah kebakaran.
Akhirnya, perjanjian yag menyatakan hutang sebesar Rp. 342.480.158,72,- tidak ada dasar
hukumnya, karena tidak ada bukti-bukti pembelian tekstil.
Pengadilan Negeri dalam putusannya menolak gugatan Penggugat seluruhnya.
Pengadilan Negeri mendasarkan putusannya tersebut kepada hal-hal berikut dibawah ini :
21
1. Dari bukti surat, ternyata Tergugat III, Mediarto Prawiro, telah bertindak untuk “diri
sendiri” dan sebagai “Presiden Direktur” dari PT. Dhaseng dan PT. Interland, telah
berhutang kepada Penggugat sebesar Rp. 342.480.158,72,- yang berasal dari
pembelian barang-barang dari Penggugat dan berjanji melunasi hutang tersebut,
setelah menerima pembayaran asuransi kebakaran dari “Asuransi Dharma Bangsa”.
2. Menurut Anggaran Dasar PT. Dhaseng dan PT. Interland, pada pasal 11 (2)
ditentukan masing-masing anggota direksi harus mendapat persetujuan tertulis dari
Komisaris untuk : l. Meminjam uang. 2. memperoleh; memberati atau
mengasingkan ”harta tetap” Perseroan. 3. mengikat perseroan sebagai Penjamin.
3. Dalam membuat ”Surat Perjanjian Pengakuan Hutang” Rp. 342.480.158,72,-
Presiden Direktur, Tergugat III, Mediarto Prawiro telah memberati Tergugat I dan
II, tanpa ada persetujuan Komisaris. Karena itu, tindakan Tergugat III, Mediarto
Prawiro, merupakan tindakan pribadi dan menjadi tanggung jawab pribadinya pula,
dan bukan menjadi tanggung jawab PT. Dhaseng dan PT. Interland.
4. Bilamana Penggugat merasa dirugikan maka ia harus menggugat pribadi Mediarto
Prawiro secara terpisah dan tersendiri tanpa mengaitkan dengan PT. Dhaseng dan
PT. Interland.30
Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Bandung berpendapat, bahwa :
1. Surat perjanjian pengakuan pembayaran bahan textile, tidak dapat digolongkan
mengikat perseroan sebagai Penjamin (Pasal 11 (2) Anggaran Dasar PT. Dhaseng).
2. Surat perjanjian pengakuan pembayaran hutang bahan textile yang menjadi hutang
kedua perseroan Badan Hukum tersebut, adalah merupakan pembelian bahan textile
yang termasuk dalam ”bidang usaha” kedua Perseroan tersebut, sehingga Tergugat
III, Mediarto Prawiro sebagai Direktur tetap berwenang dan syah melakukan
pembuatan ”Surat Perjanjian pengakuan pembayaran bahan textile", tanpa
persetujuan Komisaris.
Berdasar hal-hal tersebut di atas Pengadilan Tinggi membatalkan putusan
Pengadilan Negeri.31
Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung menyatakan Pengadilan Tinggi salah
menerapkan hukum. Mahkamah Agung berpendapat, antara lain, bahwa :
1. Tindakan Tergugat III, Mediarto Prawiro, (Presiden Direktur) untuk dan atas nama
Badan Hukum (para Tergugat I, PT. Dhaseng dan Tergugat II PT. Interland) dengan
memakai ”causa” sebagai hutang pengambilan bahan-bahan textile dari Penggugat,
30 PT. Usaha Sandang v. PT. Dhaseng Ltd, PT. Interland Ltd, dan Mediarto Prawiro, No.
269/Pdt.G/1990/PN.Bdg (1991).
31 PT. Usaha Sandang v. PT. Dhaseng Ltd, PT. Interland Ltd, dan Mediarto Prawiro, No.
453/Pdt/1991/PT.Bdg (1992)
22
adalah sama makna dan bentuk serta tujuannya dengan ”pengertian” yang disebut
dalam Pasal 11 (2) Anggaran Dasar kedua Badan Hukum tersebut.
2. Oleh karena itu agar supaya tindakan Tergugat III (Mediarto Prawiro) Presiden
Direktur, menjadi sah dan berkekuatan hukum, maka harus ada persetujuan
Komisaris atas tindakan Presiden Direktur tersebut.
3. Tujuan pembatasan kewenangan Direktur dari suatu Perseroan disebut The Ultra
Vires Rule yakni, aturan yang menentukan bahwa Direksi, tidak boleh bertindak
melampaui batas-batas yang ditentukan dalam Undang-Undang dan Anggaran
Dasar Perseroan.
4. Dalam perkara ini, tindakan Tergugat III Presiden Direktur, yang membuat Surat
Pernyataan hutang kepada penggugat untuk dan atas nama Tergugat I dan II (Badan
Hukum), tanpa persetujuan Komisaris, sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar
Perseroan Pasal 11 (2), merupakan tindakan yang bersifat Ultra Vires. Tindakan
tersebut sudah berada diluar batas kewenangan Presiden Direktur. Tindakan
tersebut, adalah tidak sah dan tidak berkekuatan hukum - tidak mengikat pada
Badan Hukum (Tergugat I dan II), sesuai dengan asas pertanggungjawaban terbatas
yang melekat pada Badan Hukum.
5. Dengan alasan tersebut, maka tuntutan atas hutang yang dibuat Tergugat III
(Presiden Direktur) untuk dan atas nama Badan Hukum (Tergugat I dan II), tidak
dapat dituntut pemenuhannya kepada Badan Hukum tersebut, sehingga gugatan
penggugat terhadap Tergugat I dan II harus ditolak.
6. Hutang kepada Penggugat (PT. Usaha Sandang) yang dibuat oleh Presiden Direktur
(Tergugat III) untuk dan atas nama PT. Dhaseng Ltd dan PT. lnterland Ltd, tanpa
persetujuan Komisaris tersebut, menjadi tanggung jawab pribadi Tergugat III
(Mediarto Prawiro) untuk membayar hutang tersebut kepada Penggugat.
Akhirnya Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan
menyatakan Tergugat III bertanggung jawab secara pribadi untuk perbuatannya, yaitu
membayar hutang sebesar Rp. 342.480.158,72,- dan bunga 2% perbulan.32
Suatu putusan Mahkamah Agung lainnya yang menarik berkenaan dengan tindakan
Direksi yang dilakukannya tanpa mendapat persetujuan Komisaris, dapat dilihat dalam
perkara antara PT. Greatstar Perdana Indonesia v. PT. Indosurya Mega Finance, No.
030 K/N/2000 (2000). Perkara ini bermula dari adanya putusan pailit Pengadilan Niaga
Jakarta No. 51/PAILIT/2000/PN.NIAGA.JKT.PST, dimana PT. Indosurya Mega Finance
memohon agar Pengadilan mempailitkan PT. Greatstar Perdana Indonesia, karena yang
belakangan ini tidak melakukan pembayaran atas Surat Sanggup sebesar Rp.
2.000.000.000,- yang sudah jatuh tempo kepada Pemohon.
Dipersidangan Pengadilan Niaga, Budi Handoko sebagai Direktur PT. Greatstar
Perdana Indonesia menerangkan bahwa ia telah menandatangani Surat Sanggup dimaksud
dengan niat baik membantu, karena dibujuk oleh saudara Henry Direktur PT. Indosurya
32 PT. Usaha Sandang v. PT. Dhaseng Ltd, PT. Interland Ltd, dan Mediarto Prawiro, No. 3264
K/Pdt/1992 (1996). Lihat juga Ali Boediarto, “The Ultra Vires Rule Mengikat Direktur Korporasi”, Varia
Peradilan : 160-10.
23
Mega Finance. Besar dugaan Termohon, Surat Sanggup tersebut akan dipakai oleh
Pemohon untuk mengganti surat-surat promes palsu atas nama PT. Greatstar Perdana
Indonesia dan PT. Bintang Raya Lokal Lestari. Termohon telah melaporkan Tindakan
menerbitkan surat-surat promes palsu tersebut kepada yang berwajib. Menurut Pemohon
pula, berdasarkan Anggaran Dasar perseroannya, pembuatan surat sanggup harus mendapat
persetujuan Dewan Komisaris, sedangkan Surat Sanggup tanggal 6 Februari 1998
diterbitkan tanpa persetujuan dan sepengetahuan Dewan Komisaris perseroan. Oleh karena
itu Termohon memohon Pengadilan Niaga membatalkan permohonan pailit tersebut.
Pengadilan Niaga dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa Surat
Sanggup 6 Pebruari 1998 telah memenuhi persyaratan formal. Alasan Termohon tidak
didukung bukti-bukti, disamping itu seorang Direktur harus dapat memperhitungkan akibat
hukum dari tindakan menandatangani surat. Walaupun Pasal 12 ayat (2) dan ayat (4)
Anggaran Dasar perusahaan Termohon menentukan Direksi harus mendapat persetujuan
tertulis dari Komisaris untuk sahnya tindakan Direksi perseroan, hal itu hanya berlaku
intern dan tidak dapat megikat dan berlaku ekstern terhadap pihak ketiga.
Menurut Pengadilan Niaga, perseroan harus bertanggung jawab terhadap pihak
ketiga tersebut, sekalipun ada perbuatan yang melampaui batas wewenang dari Direksi.
Pengadilan Niaga Jakarta kemudian mengabulkan permohonan pailit yang diajukan
oleh PT. Indosurya Mega Finance dan menyatakan pailit Termohon PT. Greatstar Perdana
Indonesia.33
Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung dalam membahas akibat hukum dari Surat
Sanggup tersebut di atas, berpedoman pada Anggaran Dasar PT. Greatstar Perdana
Indonesia. Anggaran Dasar menentukan, dalam menerbitkan Surat Sanggup anggota
Direksi harus mendapat persetujuan dari seorang Komisaris. Oleh karena dalam Surat
Sanggup tanggal 6 Pebruari 1998 yang ditandatangani oleh Budi Handoko, Direktur PT.
Greatstar Perdana Indonesia, tanpa adanya persetujuan tertulis dari seorang Komisaris
maka Surat Sanggup tersebut tidak mengikat Termohon (PT. Greatstar Perdana Indonesia),
melainkan hanya mengikat Budi Handoko pribadi. Oleh karenanya permohonan pailit yang
diajukan oleh Pemohon terhadap Termohon harus ditolak.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, tanpa mempertimbangkan keberatan
lainnya yang diajukan oleh Pemohon kasasi, Mahkamah Agung berpendapat cukup alasan
untuk mengabulkan permohonan kasasi PT. Greatstar Perdana Indonesia, yaitu
membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tanggal 16 Agustus 2000.34
“Piercing The Corporate Veil”
Suatu putusan Mahkamah Agung yang menarik lainnya pada tahun 1996, ketika
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas baru berlaku, berkenaan
dengan Direksi yang tidak beritikad baik.
33 PT. Greatstar Perdana Indonesia v. PT. Indosurya Mega Finance, No. 51/PAILIT/2000/PN.
NIAGA.JKT.PST (2000).
34 PT. Greatstar Perdana Indonesia v. PT. Indosurya Mega Finance, No. 030 K/N/2000 (2000).
24
Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
menyatakan Direksi wajib menjalankan perusahaan dengan itikad baik dan penuh tanggung
jawab untuk kepentingan perusahaan. Setiap anggota Direksi bertanggungjawab penuh
secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut
(ayat 2). Ketentuan ini sama dengan Pasal 97 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang
Perseroan yang baru.
Dalam perkara PT. Bank Perkembangan Asia v. PT. Djaja Tunggal cs, No. 1916
K/Pdt/1991 (1996), Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi. Menurut
Mahkamah Agung, pertanggungjawaban suatu Perseroan Terbatas (PT) dapat dipikulkan
kepada para pengurus, apabila tindakan hukum yang mereka lakukan untuk dan atas nama
P.T. mengandung persekongkolan dengan itikad buruk yang menimbulkan kerugian kepada
pihak lain.
Dalam perkara ini Tergugat II, III, IV dan V sebagai Direksi atau Komisaris PT.
Bank Perkembangan Asia dan sekaligus pula sebagai Direksi atau Komisaris PT. Djaja
Tunggal (Tergugat I), meminjamkan uang kepada Tergugat I tanpa analisis kredit. Mereka
pun sudah tahu anggunan kredit tersebut adalah tanah Hak Guna Bangunan sudah habis
waktunya pada tanggal 24 September 1980, sehingga sudah menjadi Tanah Negara.
Sengketa ini bermula dari PT. Bank Perkembangan Asia memberikan pinjaman
kredit kepada PT. Djaja Tunggal, yang setelah beberapa kali diperpanjang berjumlah Rp.
5.502.293.038,84,-. Perjanjian kredit diberikan dengan jaminan tanah Hak Guna Bangunan
No. 39 dan No. 40 berikut bangunan pabrik atas nama PT. Djaja Tunggal.
Pada saat semua pinjaman kredit tersebut jatuh tempo, PT. Djaja Tunggal tidak
dapat membayar. Perusahaan ini berhenti beroperasi karena menderita rugi 75%, sehingga
perusahaan menyatakan diri tidak mampu membayar hutangnya kepada Penggugat dalam
keadaan insolvensi. Ternyata Direktur dan Komisaris Bank pemberi kredit sama orangnya
dengan Direktur dan Komisaris PT. Djaja Tunggal. Ternyata pula, anggunan tanah Hak
Guna Bangunan No. 39 dan 40 telah habis masa berlakunya, sehingga statusnya menjadi
tanah negara.
Kekalutan PT. Bank Perkembangan Asia menyebabkan Bank Indonesia mengganti
pengurus Bank, dan Bank mengajukan gugatan kepada bekas Direksi dan Komisarisnya
serta PT. Djaja Tunggal.
Dalam jawabannya, para Tergugat menyatakan, antara lain, hutang tersebut adalah
hutang PT. Djaja Tunggal dan karenanya menjadi tanggung jawab PT. Djaja Tunggal,
sebatas harta kekayaan perusahaan tersebut. Oleh karenanya Tergugat II dan sampai V
secara pribadi tidak harus dimintai tanggung jawab terhadap hutang PT. Djaja Tunggal
(Tergugat I).
Pengadilan Negeri Bogor dalam putusannya, antara lain, menyatakan :
1. Tergugat I, PT. Djaja Tunggal berhutang kepada Penggugat sebesar Rp.
5.502.293.038,83,-.
2. Tergugat I, PT. Djaja Tunggal telah ingkar janji (wanprestasi) kepada Penggugat.
3. Tergugat II-III-IV-V-VI dan VII melakukan perbuatan melawan hukum oleh
pengurus.
4. Menghukum Tergugat I, PT. Djaja Tunggal untuk mengembalikan seluruh
pinjamannya berikut bunga Rp. 5.502.293.038,83,-.
25
5. Menghukum Tergugat II-III-IV-V-VI-VII untuk membayar ganti kerugian Rp.
100.0000.000,- secara tunai kepada Penggugat.35
Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Bandung menguatkan putusan Pengadilan
Negeri Bogor tersebut di atas.36
Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung menyatakan, adalah merupakan fakta, bahwa
yang menjadi pengurus dari Tergugat I adalah bersamaan pula dengan pengurus dari
Penggugat sebelum Penggugat sebagai PT. Bank Perkembagan Asia diambil alih Bank
Indonesia karena mengalami kekalahan kliring. Dengan demikian pada diri Tergugat I dan
Penggugat I pada saat terjadi pemberian kredit bersatu pada diri Tergugat II sampai dengan
V. Jadi pada saat perjanjian kredit ditandatangani dan direalisasi Dewan Direksi dan Dewan
Komisaris dari Penggugat dan Tergugat sebagai Badan Hukum (PT) bersatu pada diri para
tergugat tersebut.
Berdasarkan fakta dimaksud dihubungkan dengan cara pemberian kredit dari
Penggugat yang nota bene dikuasai oleh para Tergugat II-V, yang diberikan kepada
perusahaan yang mereka kuasai pula (Tergugat I : PT. Djaja Tunggal), dapat diduga adanya
persekongkolan dan itikad buruk pada diri para Tergugat I, II, III, IV dan V. Dalam kasus
seperti ini telah dikembangkan suatu ajaran hukum yang disebut “piercing the corporate
veil” yakni pembatasan pertanggung jawaban dari suatu Perseroan Terbatas (PT) dapat
dipikulkan kepada pengurus, apabila tindakan hukum yang mereka lakukan untuk dan atas
nama P.T. mengandung persekongkolan secara itikad buruk yang menimbulkan kerugian
kepada pihak lain. Dalam perkara ini para Tergugat II, III, IV dan V sebagai pengurus dari
PT. Perkembangan Asia (Penggugat) dan sekaligus pula pengurus dari Tergugat I (PT.
Djaja Tunggal) dengan itikad buruk meminjamkan uang kepada Tergugat tanpa analisis
kredit serta agunannya pun Hak Guna Bangunan (HGB) No. 39-40 yang mereka sendiri
tahu sudah habis waktunya pada tanggal 24 September 1980. Dengan demikian kerugian
yang diderita Penggugat tidak hanya dibebankan kepada Tergugat I, tapi meliputi Tergugat
II, III, IV dan V secara tanggung renteng.
Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 12
Februari 1990. Mahkamah Agung memutuskan, antara lain, menyatakan Tergugat I, II, III,
IV dan V berhutang kepada Penggugat sebesar Rp. 5.502.293.038,83,-. Menghukum
Tergugat I, II, III, IV dan V untuk membayar hutang tersebut secara tanggung renteng.37
“Derivative Action”
Putusan Mahkamah Agung lainnya yang juga cukup menarik adalah berkenaan
dengan hak pemegang saham minoritas menggugat Direksi atas nama perusahaan.
Pasal 97 ayat (6) Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru menyatakan,
bahwa atas nama Perseroan, Pemegang Saham yang mewakili paling sedikit 10% dari
jumlah seluruh sahamnya dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan
35 PT. Bank Perkembangan Asia v. PT. Djaja Tunggal cs, No. 136/Pdt.G/1987/PN.Bgr (1988).
36 PT. Bank Perkembangan Asia v. PT. Djaja Tunggal cs, No. 431/Pdt/1989/PT.Bdg (1990).
37 PT. Bank Perkembangan Asia v. PT. Djaja Tunggal cs, No. 1916 K/Pdt/1991 (1996),
26
Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan
kerugian pada Perseroan.
Jika dihubungkan dengan Pasal 97 ayat (3), setiap anggota Direksi bertanggung
jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan, apabila yang bersangkutan bersalah
atau lalai menjalankan tugasnya.
Kedua ketentuan tersebut di atas sama dengan Pasal 85 Undang-Undang No. 1
Tahun 1995.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang sebelumnya berlaku, tidak
mengatur gugatan “derivative action” ini, yang boleh dikatakan berasal dari hukum
perusahaan sistem “Common Law”.
Dalam perkara PT. Dwi Satrya Utama v. Raymond Richard Sparks dan
Inderadi Kosim, No. 59/Pdt.G/2002/PN. Jak-Sel (2002), Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan memeriksa gugatan PT. Dwi Satrya Utama, pemegang saham 45% PT. ICI Paints
Indonesia, terhadap 2 (dua) orang Direktur PT. ICI Paints Indonesia itu sendiri.
Penggugat mendalilkan, bahwa para Tergugat telah merugikan perusahaan, antara
lain karena :
1. Tergugat I dan Tergugat II baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama telah
dengan sewenang-wenang melakukan penunjukkan Konsultan Hukum Freshfields dan
Makarim & Taira oleh ICI Omicron BV untuk kepentingan PPG Industries, Inc yang
berkeinginan melakukan pembelian Pabrik di Cimanggis tanpa persetujuan dua
Direktur Wakil PT. Dwi Satrya Utama. (Berdasarkan the Master Sale and Purchase
Agreement).
2. Dengan selesainya tugas dari Konsultan Hukum tersebut, maka Tergugat I dan
Tergugat II telah menyetujui pembayaran legal fee kepada masing-masing Konsultan
Hukum tersebut S$ 16.970,13 (enam belas ribu sembilan ratus tujuh puluh koma tiga
belas Dollar Singapura) kepada Freshfields dan sebesar US$ 106.850,12 (seratus enam
ribu delapan ratus lima puluh koma dua belas Dollar Amerika) kepada Makarim &
Taira, padahal jasa Konsultan Hukum itu untuk kepentingan pihak lain bukan untuk
kepentingan PT. ICI Paints Indonesia.
3. Tergugat I dan Tergugat II telah sewenang-wenang menetapkan renumerasi General
Manager yang sangat berlebihan tanpa melalui persetujuan seluruh Direksi PT. ICI
Paints Indonesia sehingga melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (3) dari Shareholders
Agreement yang berbunyi : The day to day of the company shall be entrusted to a
General Manager. The appointment of the General Manager will be made wits the
approval of all the Directors of the Company but no Director shall unreasonably
withhold approval.
4. Tergugat I dan Tergugat II baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama telah
lalai melakukan tindakan pengelolaan perusahaan dalam hal ini melarang General
Manager untuk mentransfer dana sebanyak US$ 4.500.000,- (empat juta lima ratus
ribu dollar Amerika Serikat) dari Bank di Indonesia ke Bank Luar Negeri. Padahal saat
itu Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang mengkhawatirkan, dan telah
dihimbau kepada seluruh Warga Negara Indonesia serta instansi untuk tidak
melakukan transfer dana ke luar negeri.
27
5. Dengan demikian, Tergugat I dan Tergugat II bersalah atau lalai dalam menjalankan
tugas untuk kepentingan dan usaha PT. ICI Paints Indonesia, sehingga kerugian yang
diderita PT. ICI Paints Indonesia adalah merupakan tanggung jawab secara pribadi
dari Tergugat I dan Tergugat II secara bersama-sama (Pasal 85 ayat (2) Undang-
Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas).
6. Berdasarkan alasan-alasan sebagaimana disebutkan di atas terbukti bahwa Tergugat I
dan Tergugat II disamping telah melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (3) Shareholders
Agreement, juga melanggar ketentuan yang tercantum dalam Pasal 85 ayat (2)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi : Setiap
anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan
tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan, sehingga Tergugat I dan Tergugat II
telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang merugikan PT.
ICI Paints Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
7. Kerugian yang diderita oleh PT. ICI Paints Indonesia sebagai akibat dari perbuatan
malawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II adalah sebesar S$
16.970,13 (enam belas ribu sembilan ratus tujuh puluh koma tiga belas Dollar
Singapura) dan sebesar US$ 106.850,12 (seratus enam ribu delapan ratus lima puluh
koma dua belas Dollar Amerika).
8. Kerugian PT. ICI Paints Indonesia sebesar S$ 16.970,13 (enam belas ribu sembilan
ratus tujuh puluh koma tiga belas Dollar Singapura) dan sebesar US$ 106.850,12
(seratus enam ribu delapan ratus lima puluh koma dua belas Dollar Amerika) itu
terjadi sejak pembayaran kepada Konsultan Hukum sehingga mengurangi kemampuan
cash flow PT. ICI Paints Indonesia dan nyata-nyata menghilangkan kesempatan untuk
memperoleh bunga.
Para Tergugat dalam bantahannya mengenai bukan pokok perkara (eksepsi) maupun
dalam jawaban pokok perkara, membantah semua dalil-dalil Penggugat tersebut di atas.
Para Tergugat memohon Pengadilan untuk memutuskan agar Penggugat meminta maaf di
Harian Kompas dan The Jakarta Post selama tiga hari berturut-turut karena perbuatan
hukum yang dilakukannya mencemarkan nama baik para Tergugat.
Setelah mendengarkan saksi-saksi dan bukti-bukti, Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan dalam pertimbangan hukumnya menyatakan tidak terbukti penunjukkan Konsultan
Hukum Freshfields dan Makarim & Taira oleh PT. ICI Paints sebagai suatu kerugian akibat
perbuatan melawan hukum. Tidak terbukti pula gugatan Penggugat, bahwa para Tergugat
yang tidak melarang trasfer uang sebanyak US$ 4.500.000,- pada Deustche Bank
Singapore menimbulkan kerugian bagi PT. ICI Paints Indonesia.
Oleh karena itu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan menolak gugatan
Penggugat seluruhnya. Menyatakan Penggugat telah melakukan perbuatan melawan hukum
dan menghukum Penggugat meminta maaf kepada para Tergugat di Harian Kompas dan
28
The Jakarta Post selama tiga hari berturut-turut dengan redaksi yang disetujui terlebih
dahulu oleh para Tergugat.38
Sayangnya belum didapatkan putusan Pengadilan Tinggi dan/atau putusan
Mahkamah Agung mengenai sengketa ini.
Pengelolaan Perusahaan Yang Baik
(Good Corporate Governance)
Pengelolaan perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) adalah apabila
organ-organ Perseroan Terbatas, yaitu RUPS, Komisaris dan Direksi dalam menjalankan
fungsinya selalu mengacu kepada Undang-Undang Perseroan Terbatas, Anggaran Dasar
Perusahaan, dan Peraturan Perusahaan.
RUPS dalam mengambil keputusan harus berdasarkan ketentuan Undang-Undang
Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar Perusahaan. Dewan Komisaris mengambil
keputusan sesuai dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar
Perusahaan.
Begitu juga Direksi dalam mengambil keputusan, menandatangani perjanjian
dengan pihak lain harus mengikuti Undang-Undang Perseroan Terbatas, Anggaran Dasar
Perusahaan, dan Peraturan Perusahaan. Adakalanya, Direksi dalam tindakannya harus
meminta persetujuan Komisaris, bahkan dalam beberapa hal harus mendapatkan
persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) berdasarkan quorum dan voting
dengan prosentase tertentu.
Begitu pula Direksi dalam memutuskan sesuatu harus tidak mempunyai
pertentangan kepentingan dengan dirinya (conflict of interest). Dia mengambil kebijakan
pertama-tama untuk kepentingan perusahaan, yang tidak selalu untuk kepentingan para
pemegang saham.
Pengelolaan perusahaan yang baik (Good Corporate Governance), tidak hanya
berarti mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk perusahaan, tetapi juga menjalankan
tanggung jawab sosial dari perusahaan (Corporate Social Responsibilities). Perusahaan
mempunyai tanggung jawab sosial tidak merusak lingkungan atau merugikan konsumen
karena barang yang cacat.
Dalam menjalankan tugasnya ia memiliki “business judgment rule”, yaitu ia tidak
dapat dituntut karena keputusannya ternyata mendatangkan kerugian pada perusahaan,
sepanjang ia mengambil keputusan tersebut dengan penuh kehati-hatian, telah mengikuti
ketentuan-ketentuan dalam perseroan, beritikad baik, tidak terdapat kelalaian atau
penipuan.
Kesimpulan
Undang-Undang Perseroan Terbatas Indonesia telah mengalami dua kali
penggantian. Pertama, berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang
38 PT. Dwi Satrya Utama v. Raymond Richard Sparks dan Inderadi Kosim, No. 59/Pdt.G/2002/PN.
Jak-Sel (2002).
29
memuat ketentuan mengenai Perseroan Terbatas (1848-1995), kedua lahirnya Undang-
Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menggantikannya (1995-2007), dan
akhirnya Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru mulai berlaku 2007 ini.
Tidak ada perubahan yang signifikan mengenai tanggung jawab Pemegang Saham
dan Direksi, baik sebelum perseroan mendapat status badan hukum maupun sesudahnya.
Pemegang Saham bertanggung jawab terbatas sebanyak saham yang disetornya dan Direksi
bertanggung jawab karena jabatannya. Keduanya dapat menjadi bertanggung jawab pribadi
apabila mereka beritikad buruk, melanggar Undang-Undang Perseroan Terbatas dan/atau
Anggaran Dasar perseroan. Hal tersebut tercermin dalam putusan-putusan hakim seperti
yang diuraikan di atas, walaupun ada diantara putusan hakim tersebut yang berbeda
penafsirannya.
Undang-Undang adalah “law in the book”, putusan-putusan hakim dapat dikatakan
merupakan “law in action”. Undang-Undang Perseroan Terbatas yang dapat menciptakan
predictability, stability, dan fairness adalah suatu syarat mutlak untuk berperanannya
Undang-Undang ini dalam mendorong pembangunan ekonomi.
____________